Intisari-Online.com -Ada saatnya ketika seseorang membawa buku dianggap sebagai seorang teroris. Faizah Shaheen merasakan itu.
Perempuan Inggris itu dipaksa meminta maaf setelah diinterogasi polisi antiteror Inggris karena kedapatan membaca buku tentang kebudayaan Suriah di pesawat terbang.
Syria Speak: Art and Culture from the Frontline, begitu judul buku itu.
Shaheen dilaporkan kepada aparat berwenang oleh awak kabin maskapai Thomson Airways dalam sebuah penerbangan ke Turki untuk berbulan madu pada tahun 2016 lalu.
(Baca juga:Menyamar Sebagai Pria Selama 10 Tahun, Wanita Ini Malah Dituduh Memperkosa )
Kepada program BBC Victoria Derbyshire, tim pengacara Shaheen menuturkan kliennya yakin dirinya mendapat perlakuan diskriminatif yang dilatarbelakangi prasangka rasial.
Sementara awak kabin Thomson mengatakan mereka "dilatih untuk melaporkan berbagai masalah" sebagai sebuah tindakan pencegahan.
Siapa Shaheen?
Shaheen adalah seorang perempuan muslim yang bekerja di lembaga kesehatan Inggris. Tugasnya adalah melayani para remaja agar tidak terjerumus radikalisasi.
Syria Speak merupakan buku yang berisi kumpulan artikel, foto-foto, lagu-lagu, serta kartun karya para seniman dan penulis Suriah.
(Baca juga:Misteri Melihat Tanpa Mata: Bahkan Seorang Tunanetra pun Bisa Membaca Buku Biasa ... dengan Ujung Jarinya)
Polisi menangkapnya di bandara saat kembali ke Inggris dua minggu setelahnya.
Shaheen dan suaminya dibawa ke sebuah ruangan di Bandara Doncaster untuk diperiksa dengan Undang-undang Terorisme.
Ia mengungkapkan selama 30 menit dirinya diinterogasi perihal buku tersebut, pekerjaannya, serta berapa banyak bahasa yang ia kuasai.
"Selain marah, saya juga merasa kesal dan tertekan. Saya berjuang untuk menerima bahwa saya menjadi korban diskriminasi karena membaca buku tentang seni dan budaya," jelasnya.
"Dan setelah setahun berlalu, Thomson Airways gagal memberikan penjelasan atau permintaan maaf meski ada keterlibatan hukum," katanya lagi.
"Sikap ini membuat saya tidak memiliki pilihan selain meminta pernyataan dari pengadilan berdasarkan Undang-undang Kesetaraan."
(Baca juga:Perempuan Muslim Pertama yang Jadi Hakim di AS Itu Ditemukan Tewas Mengambang di Sungai)
Tim kuasa hukum Shaheen menyebutkan mereka telah melayangkan surat kepada Thomson, dengan mengatakan kepada perusahaan tersebut bahwa kliennya telah menjadi korban diskriminasi.
Dalam surat tersebut dicantumkan bahwa Shaheen yakin dirinya menjadi korban diskriminasi yang dilatarbelakangi masalah rasial.
Ravi Naik, dari kantor tim kuasa hukum ITN, mengatakan Thomson sudah mengetahui komunikasi awal, namun tidak menanggapi korespondensi semenjak Januari lalu.
"Undang-undang Kesetaraan memuat perlindungan yang kuat terhadap perlakuan diskriminatif atas dasar ras dan agama seseorang dan untuk alasan yang baik," katanya.
"Kami telah meminta pihak maskapai untuk meminta maaf, namun kami tidak pernah mendapat jawaban yang berarti."
(Baca juga:Pulung Gantung, Misteri Bola Api yang Dianggap sebagai Pendorong Orang Bunuh Diri)
Shaheen mengatakan ia tidak menginginkan ganti rugi, tapi "permintaan maaf dan penjelasan dari Thomson Airways untuk memastikan hal itu tidak akan pernah terjadi lagi".
Jo Glanville, direktur PEN Inggris—sebuah organisasi kebebasan berbicara di Inggris yang membantu mendanai buku yang dibaca Shaheen—mengungkapkan bahwa tindakan pihak maskapai Thomson merupakan tindaka diskriminasi.
Itu adalah “pelanggaran mendasar terhadap kebebasan, yang meruntuhkan kebebasan untuk membaca buku yang kita sukai di tempat umum,” ujarnya.
“Thomson harus meninjau ulang prosedur pelatihan stafnya sehingga kesalahan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Membaca sebuah buku tidak boleh dipandang sebagai dasar untuk perilaku yang mencurigakan," tambahnya.
Dalam sebuah pernyataan Thomson mengatakan: "Kami sangat menyesal jika Shaheen tetap tidak senang perihal perlakuan terhadap dirinya."
"Kami menulis surat kepadanya untuk menjelaskan bahwa awak kabin kami menjalani pelatihan tentang kewaspadaan dan keamanan secara berkala. Awak kabin kami didorong untuk selalu waspada dan berbagi informasi atau pertanyaan dengan pihak berwenang terkait, untuk bertindak sesuai kebutuhan."
(Artikel ini sebelumnya tayang di Tribunnews.com dengan judul "Perempuan Cantik Ini Dituduh Teroris Gara-gara Baca Buku Kebudayaan Suriah di Atas Pesawat")