Intisari-Online.com – Saat itu Yeye baru berusia 15 tahun ketika vonis mati datang menghampiri.
"Saya kena kanker indung telur ganas. Dokter bilang, umur saya tinggai dua sampai lima tahun lagi. Saat itu, rasanya seperti disambar petir," kenang Yeye.
Padahal, itu bukan satu-satunya vonis mati yang harus diterima Yeye sepanjang hayatnya.
(Baca juga:Inilah Permintaan Jokowi Setelah Ahok Divonis Bersalah)
Sebagai cewek baru gede (kelas 2 SMP), Yeye Seri Danti saat itu memang sedang bandel-bandelnya. Otaknya masih dipenuhi beragam keinginan, khususnya nafsu bersenang-senang.
Hanya saja, beda dengan kebanyakan gadis seusianya yang doyan dandan, hobi Yeye justru nongkrong di pinggir jalan, sambil gitaran dengan teman-teman, ngeband (dia pemukul drum di grup band yang semua personelnya laki-laki), atau ngobrol sampai pagi.
Tak heran, hasil diagnosis dokter sempat membuat Yeye limbung. Apalagi ia buta sama sekali soal kanker. "Yang saya tahu, kanker penyakit gawat, dan penderitanya pasti mati," ujarnya berusaha melucu.
Yeye kian limbung, setelah tahu tak ada jaminan sembuh yang bisa diberikan dokter. "Nikmati saja hidup ini, enggak usah mikir macam-macam," katanya, menirukan ucapan dokter. Yeye merasa, dokter sudah menyerah.
Namun bukan "Yeye tomboy" namanya kalau gampang putus asa. Entah dari mana datangnya, Yeye tiba-tiba mendapat semangat ekstra.
"Dokter boleh bilang umur saya tinggai sekian tahun. Tapi selama Tuhan masih memberi kesempatan, saya yakin bakal tetap hidup. Kalaupun umur saya tidak panjang, saya akan tetap menjalaninya sambil tersenyum."
Kelak terbukti, sikap hidup itu menjadi obat tak kalah manjur dibanding resep dokter mana pun. Karena ia tak pernah menebak-nebak, berapa lama Iagi akan hidup.
Bertahan dua tahun, lima tahun, 10 tahun, bahkan satu bulan sekalipun tak masalah.
Selalu berulang tahun
Beruntung, Yeye tidak sendirian. Dia memiliki ibu yang juga tak ambil pusing dengan vonis dokter.
"Ibu selalu menciptakan suasana yang membuat saya happy. Apa pun keinginan saya selalu dipenuhi. Pokoknya, saya jadi anak manja," cetus Yeye, urutan kelima dari sembilan bersaudara.
(Baca juga:Jupe Meninggal Dunia: Benarkah Jamur Shiitake dapat Membunuh Penyebab Kanker Serviks?)
Tak cuma ibu (ayahnya meninggal setahun sebelum Yeye dioperasi), kakak-kakak dan adik-adik Yeye pun bersikap serupa.
Mereka tak pernah lupa tanggal 27 Juli, hari ulang tahun Yeye. Dari sembilan bersaudara, hanya Yeye yang tanggal lahirnya rutin dipestakan saban tahun.
Setiap kali meniup lilin ulang tahun, Yeye selalu berdoa dan bersyukur, karena satu tahun lagi berhasil dilewatinya dengan selamat.
Yeye memang hampir tak pernah tampak seperti orang sakit. Acara ngeband dan begadang bersama teman-temannya tetap berjalan seperti sediakala.
Hanya ada satu hal yang tidak pernah Yeye lakukan bersama konco-konconya, yaitu mengonsumsi obat-obatan terlarang.
Teman-teman gaulnya di Tanjung Pinang (kini ibukota Provinsi Kepulauan Riau) menghormati keputusan itu, meski mereka sama sekali tak tahu soal kanker di tubuh Yeye.
Di sekolah, hanya guru-guru saja yang diberi tahu ihwal kanker Yeye. "Saya enggak boleh ikut pelajaran olahraga. Mereka selalu melarang saya melakukan aktivitas fisik berlebihan.
Khawatir, kalau terlalu capek, saya akan drop dan langsung sakit," jelas penggila musik ini, sembari menambahkan, "Sama seperti kawan-kawan di rumah, kawan-kawan di sekolah pun enggak ada yang dibilangin. Mereka tahunya saya penyakitan, tapi bukan sakit kanker."
Yeye tidak suka gembar-gembor soal penyakitnya. Alasannya sederhana, karena tidak ingin diperlakukan sebagai orang sakit. "Dalam memberi kasih sayang, ibu pun tidak pernah membawa-bawa penyakit saya sebagai embel-embel.
Kalau hendak melarang melakukan sesuatu misalnya, ibu enggak bilang, 'Jangan, kamu 'kan lagi sakit'."
(Baca juga:Norma, Nenek 90 Tahun yang Pilih Keliling Amerika Dibanding Berobat saat Divonis Mengidap Kanker)
Kadang mau mati
Penderitaan Yeye agak berkurang ketika operasi pengangkatan satu indung telur yang terserang kanker berjalan sukses di sebuah rumah sakit di Padang.
Dari tim dokter yang melakukan operasi, Yeye remaja mendapat gambaran, kanker indung telurnya (wanita memiliki dua indung telur) tergolong ganas.
"Ovariumnya sudah pecah. Kalau tidak diangkat, takutnya menimbulkan infeksi di dinding perut," lanjut Yeye.
Waktu itu belum ada terapi kemo dan lain-lainnya, sehingga operasi menjadi satu-satunya opsi.
"Sebenarnya, kalau ingin menumpas habis pergerakan sel kanker, indung telur kedua harus diangkat juga. Tapi karena saya masih remaja, dokter tidak merekomendasikan hal itu. Kalau dua-duanya diangkat, pertumbuhan tulang dan kulit akan terganggu, karena enggak ada lagi organ yang bertanggung jawab atas suplai hormon estrogen.
Jadi, indung satunya lagi terpaksa disisakan, sambil menunggu waktu yang tepat," cerita wanita yang menyelesaikan SMP dan SMU-nya di Tanjung Pinang ini.
Yang dimaksud saat yang tepat, jika tubuh Yeye tidak lagi banyak tergantung pada hormon estrogen. Misalnya ketika memasuki masa menopasue.
Sampai bertahun-tahun ke depan, perempuan yang sejak kecil bercita-cita jadi dokter ini harus tetap berjuang melawan rasa sakit yang ditimbulkan infeksi indung telurnya.
"Kalau sedang kambuh, kadang rasanya mau mati aja."
Di saat-saat seperti itulah, sang ibu biasanya tampil sebagai penyelamat. "Dia membelai, mengusap, dan mengingatkan kembali semua impian-impian saya," nada suara Yeye sedikit bergetar.
Pascaoperasi, sampai beberapa tahun kemudian, Yeye masih harus bolak-balik ke rumah sakit untuk mengobati indung telur satunya yang ikut terinfeksi.
Uniknya (atau malah anehnya), status "pesakitan" yang disandang Yeye tak menghalangi bakat bandelnya di SMU.
"Di rapor, kelakuan saya ditulis buruk, sehingga gagal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta," ulas Yeye.
Yeye pun banting setir, masuk Fakultas Kedokteran Hewan. "Yang penting tetap jadi dokter," ujar Yeye sembari terkekeh.
Masuknya Yeye ke UGM sekaligus menjadi bukti melesetnya vonis mati dokter di Padang dan Tanjung Pinang. "Ramalan" ngawur, setelah Yeye menunjukkan, ia jugasanggup merajut prestasi akademis.
Di Fakultas Kedokteran Hewan, Yeye berhasil menjadi the best (peraih Indeks Prestasi tertinggi) untuk tiap semester. Prestasi itu membuat Yeye dinobatkan sebagai best of the best (lulusan terbaik) saat menjadi sarjana.
"Tak terasa, Tuhan akhirnya memberi saya beberapa tahun ekstra untuk menikmati hidup dan berbuat yang terbaik untuk saya dan ibu saya. Saya benar-benar bersyukur."
(Baca juga:Mahasiswa UGM Ubah Limbah Ampas Tebu Jadi Sumber Energi Alternatif)
Datangnya vonis kedua
Setelah resmi menjadi dokter hewan, Yeye hijrah ke Jakarta. Di ibukota negara, Yeye yang mulai bosan dengan pengobatan medis, tergerak mencieipi pengobatan alternatif.
"Saya mencoba pijat refleksi, yang saat itu belum sengetop sekarang. Dan ajaibnya, rasa sakit itu langsung hilang," aku Yeye.
Perempuan berkulit putih yang sekarang menjabat direktur sebuah rumah sakit hewan di Jakarta ini sangat senang. la sampai mengira, hilangnya rasa sakit itu pertanda datangnya kesembuhan.
Sampai akhirnya, sekitar tahun 2003, rasa sakit amat sangat di perut kembali datang tak tertahankan. Saat memeriksakan diri ke rumah sakit, Yeye mendapat jawaban tak kalah buruk dengan diagnosis yang diterimanya saat remaja dulu.
Dari hasil USG kelihatan, indung telur yang tinggal satu itu telah membesar. Rahimnya pun bermasalah. Saat itu juga, dokter menyarankan untuk mengangkat semua "onderdil keperempuanan" Yeye.
Tak ada pilihan lain. Toh usia dianggap sudah mencukupi.
Tapi masalah tak berhenti sampai di situ. Saat persiapan operasi, dokter mendapati adanya benjolan di payudara kanan. Setelah dimamografi, terlihat tanda-tanda kanker ganas.
Dalam waktu yang begitu singkat, Yeye berpikir cepat, untuk memutuskan menjalani operasi two in one. Dalam operasi yang berlangsung selama lima jam itu, rahim dan indung telur, serta kanker di payudara kanan Yeye diangkat secara bersamaan.
Dinyatakan sembuhkah Yeye setelah operasi luar biasa itu?
"Dulu, setelah selesai operasi pertama, disusul hilangnya rasa sakit beberapa tahun kemudian, saya pikir sudah tak akan terserang kanker lagi. Tapi ternyata, beberapa puluh tahun kemudian, saya kena kanker payudara. Sekarang, saya tak pernah lagi berpikir tentang kesembuhan," ucapnya tegar.
Apalagi, dokter kembali memvonisnya dengan vonis mati, mirip saat remaja dulu. "Katanya, paling lama lima tahun," Yeye menjulurkan lima jari tangannya.
Operasi kedua ini membuat tubuh Yeye kehilangan organ yang bertugas memproduksi hormon estrogen.
Risikonya, kulit menjadi lebih cepat keriput dan tulang gampang kena osteoporosis. Meski sampai hari ini, tiga tahun setelah operasi dilaksanakan, Yeye masih belum merasakan gangguan kesehatan berarti.
(Baca juga:Kesaksian Puteri Angkat Nyai Roro Kidul yang Sembuh dari Luka Parah Berkat Pertolongan Sang ‘Ibu’)
Kontraktor sejati
Pada vonis kedua ini, Yeye memang jauh lebih tenang. Barangkali, karena sekarang ia sudah lebih tahu soal kanker dan memiliki "senjata" rahasia untuk melawannya.
"Kuncinya ada pada antibodi atau zat kebal di dalam tubuh. Antibodi akan meninggi jika kita bahagia, sehingga dapat aktif menekan perkembangan sel-sel kanker. Sebaliknya, kalau stres, zat kebal itu akan turun, sehingga sel-sel kanker berpeluang mengganas dan menyebar ke mana-mana," jelas Yeye.
Sebab lain, seumur hidupnya, Yeye sudah terbiasa hidup berteman rasa sakit. Dia kerap memanfaatkan teknik-teknik pernapasan untuk mengurangi rasa sakit.
"Kalau tidak percaya, coba praktikkan saat diinfus atau diambil darah," tambah penyuka buku-buku sufi ini.
Buat Yeye, kanker bukan "sesuatu yang menyakitkan". Yeye justru lebih tersiksa oleh penyakit lain yang juga dideritanya sejak bertahun-tahun lalu, meski tingkat mematikannya tidak seganas kanker.
"Sudah lama lambung dan pencernaan saya luka. Lukanya sulit disembuhkan, membuat saya tersiksa seumur hidup, karena tidak boleh lagi makan makanan yang enak-enak.
Saya pun tidak boleh makan lemak, makanan pedas, asam, tidak boleh minum susu, kopi, dan cokelat."
Yeye kini juga aktif di organisasi yang dibikin khusus untuk pasien kanker, Cancer Information a Support Center (CISC). "Sebelum masuk organisasi, saya tergolong orang yang enggak punya empati, cuek, tidak bisa berbagi. Tapi begitu masuk CISC, saya jadi tahu, orang berpenyakit kanker ternyata juga butuh dukungan, berbagi, dan curhat."
Pengalaman ini ikut membentuk Yeye menjadi manusia yang lebih sabar, lebih ceria dan tentu saja, lebih kuat.
Tak kalah penting, sikap pasrah Yeye sungguh luar biasa. Sampai hari ini ia tetap memilih tinggal di rumah kontrakan, meski secara finansial sanggup membeli rumah di daerah elite mana pun di Jakarta.
Alasannya sederhana, agar selalu siap jika sewaktu-waktu dipanggil Yang Maha Kuasa.
Buat Yeye, kanker tidak lagi dianggapnya sebagai penyakit. "Kanker itu pemberian Tuhan, seperti siang dan malam."
Kalau kemudian banyak manusia takut dan meninggal karena kanker, itu karena pada akhirnya semua manusia memang harus kembali kepada-Nya. "Dipanggil pulang Sang Pemilik kok takut?"
(Baca juga:Timothy Ray Brown, Satu-satunya Orang yang Sembuh dari HIV)
Di usianya yang hendak masuk kepala lima (ia kelahiran 1957), Yeye bisa dibilang "sukses" merajut masa depan. Dulu, setelah operasi pertama tahun 1972, Yeye divonis hanya akan bertahan 2 - 5 tahun.
Meski kenyatannya ia malah panjang umur. Kini, setelah operasi tahun 2003, vonisnya tetap sama.
"Tuhan telah berkenan memberi saya 'bonus' umur bertahun-tahun, sehingga bisa kuliah dan berkarier secara normal."
"Jadi, apa lagi yang harus saya katakan, selain berterima kasih dan bersyukur?" Yeye menutup obrolan. (M. Sulhi)
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah KISAH Vol. 1 – Intisari)