Advertorial
Intisari-Online.com – Pada Jumat (5/10/2018), Hadiah Nobel Perdamaian 2018 telah diberikan kepada Nadia Murad (25) dan Denia Mukwege (63) atas upaya mereka melawan kekerasan seksual dalam perang.
Khusus untuk Murad, dia punya kisah sendiri sampai dia mendapat Hadiah Nobel Perdamaian 2018.
Diketahui, Murad adalah mantan budak seks ISIS.
Dia diculik bersama perempuan lainnya pada Agustus 2014 ketika desanya di Kocho di Sinjar, Irak Utara diserang ISIS.
Baca Juga : Kiprah Nadia Murad, Dipaksa Jadi Budak Seks ISIS, Lalu Jadi Pejuang HAM, hingga Meraih Nobel Perdamaian 2018
Murad pun menceritakan bagaimana pengalamannya saat masih menjadi budak seks ISIS seperti yang ia tulis pada otobiografinya berjudul ‘The Last Girl’ pada tahun 2017.
"Ketika kami diculik paksa dan dibawa ke sebuah tempat, kami berteriak dan ketakutan," cerita Murad dilansir dari dailymail.co.uk pada Sabtu (6/10/2018).
"Saat tahu ada ada keributan di lantai bawah (tempat kami disekap), beberapa anggota ISIS datang."
"Seorang pria yang pertama masuk menanyakan apakah kami (para perempuan) masih perawan dan kami semua menjawab 'tentu saja'."
Setelah mendengar jawaban kami, mereka membawa kami dan melakukan aksi bejat mereka.
"Para anggota ISIS menyentuh kami di mana saja mereka inginkan, menggerakkan tangan mereka (maaf) di atas payudara kami dan kaki kami, seolah-olah kami adalah hewan."
Murad masih ingat salah seorang anggota tingkat tinggi bernama Salwan, seorang pria yang dia klaim sebagai ‘monster’.
"Dia bisa menghancurkanku dengan tangan kosong. Tidak peduli apa yang aku akukan dan tidak peduli berapa banyak aku menolak, aku tidak akan pernah bisa melawannya."
"Dia sangat mengerikan. Seperti campuran bau telur busuk dan cologne."
Baca Juga : Diperjualbelikan di Pasar Seperti Ternak, Beginilah Kisah Para Perempuan yang Dijadikan Budak Seks ISIS
Teror tersebut belum berhenti. Dia ‘dilempar’ dari satu pria ke pria lainnya.
Sampai suatu hari, Murad berhasil melarikan diri dari para anggota ISIS. Saat itu, dia berhasil menyelundupkan dirinya keluar dari Irak.
Pada awal 2015, dia pergi ke Jerman sebagai pengungsi.
Dari sanalah awal mula Murad menjadi relawan anti kekerasan seksual. Bahkan hingga saat ini, Murad sedang berjuang untuk menyelamatkan 3.000 perempuan lainnya yang diduga masih ditahan.
Menurut pihak Nobel Perdamaian, Murad dinilai telah menunjukkan keberanian yang tidak biasa dalam menceritakan penderitaannya sendiri dan berbicara atas nama korban lain.
"Nadia Murad adalah salah satu dari sekitar 3.000 gadis dan wanita Yazidi yang menjadi korban pemerkosaan dan pelanggaran lainnya oleh tentara ISIS," ucap pihak Nobel Perdamaian.
Diketahui, para anggota ISIS mengorganisasi pasar budak untuk menjual perempuan dan anak perempuan secara paksa dipaksa.
Dengan pemberian Nobel Perdamaian ini, Murad menjadi pemenang Hadiah Nobel Perdamaian termuda kedua.
Sebelumnya, Malala Yoisafzai pernah memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2014 pada usia 17 tahun.
Saat itu, dia berhasil selamat setelah ia ditembak di kepala dengan jarak dekat oleh Taliban karena berkampanye untuk pendidikan anak perempuan di Pakistan, tempat di mana ia dibesarkan.
Baca Juga : Kisah Nadia Murad sebagai Budak Seks ISIS dan Bagaimana Ia Berhasil Melarikan Diri
Siapakah Nadia Murad?
Nadia Murad lahir pada tahun 1993 di sebuah keluarga petani di desa kecil Kocho di Sinjar, Irak Utara.
Pada Agustus 2014, ketika dia 19 tahun, Murad diculik bersama wanita Yazidi lainnya, termasuk saudara perempuannya, ketika ISIS menyerbu desa.
Dia kehilangan enam saudara laki-laki dan ibunya dalam serangan it.
Sementara anggota ISIS membunuh sebanyak mungkin pria dan wanita yang mereka anggap terlalu tua untuk dijual sebagai budak seks. Untuk anak-anak, mereka diculik untuk dilatih sebagai anggota ISIS.
Murad ditahan sebagai tawanan sebagai budak di kota Mosul, ibukota ISIS secara de facto.
Di sana, dia dipukuli, dibakar dengan rokok, dan berulang kali diperkosa secara brutal.
Seperti rubian budak seks lainnya, Murad dipaksa menikah, dipaksa masuk Islam, dan memakai make up dan pakaian ketat.
Pengalaman tersebut kemudian dia ceritakan di depan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dia melarikan diri setelah salah satu anggota ISIS yang tinggal bersama meninggalkan rumah dan lupa menguncinya.
Saat itulah, dia berhasil menyelundupkannya keluar dari daerah yang dikendalikan oleh ISIS dengan dokumen palsu.
Dia tinggal di kamp-kamp pengungsi sampai Pemerintah Baden-Württemberg menawarkan suakanya di Jerman dengan 1.000 wanita dan anak-anak lainnya.