Advertorial
Intisari-Online.com -Tanpa adanya gunung berapi di sekitarnya, kota Palu (juga Donggala) sempat dianggap sebagai kota yang aman dari bencana.
Sebelum akhirnya bencana gempa dan tsunami menimpa hingga merenggut banyak korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang masif.
Padahal, meski tidak memiliki ancaman gunung berapi, sesungguhnya Palu digolongkan sebagai wilayah dengan potensimultihazard.
Dengan potensi ini, maka Palu sangat rawan diterjang oleh berbagai bentuk bencana.
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Berdasarkan Geologinya, Sulawesi Memang Rawan Gempa dan Tsunami
"Kota kami tidak memiliki ancaman gunung berapi, tapi termasuk kawasan dengan potensi multihazard," ucap Rifai Mardin, dosen Teknik Arsitektur di Universitas Tadulako, Palu, seperti dilansir dari Kompas.com, Senin (1/10/2018).
"Jadi bukan hanya satu macam, dan turunannya atau bawaannya juga menjadi macam-macam lagi."
Kota Palu sendiri pada dasarnya berdiri di atas patahan Palu Koro yang digolongkan sebagai salah satu patahan paling aktif di Indonesia.
Belum lagi ancaman tsunami yang sebenarnya memang sangat rawan terjadi mengingat Kota Palu berada di kawasan teluk dengan dengan aktivitas penduduk yang ramai dan bangunan yang relatif padat.
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Benarkah Hewan Mampu Memprediksi Terjadinya Gempa?
Rifai mengatakan, berdasarkan data dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu, kawasan rawan tsunami di kota ini hanya 10 persen dari luas total wilayahnya.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah jumlah penduduk yang tinggal di kawasan ini mencapai lebih dari 50 persen dari jumlah keseluruhan.
Hal ini karena daerah rawan di kota ini merupakan wilayah permukiman awal. Wilayah-wilayah tersebut antara lain di Talise, Besusu, Lere, Kampung Baru, dan Ujuna.
Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi salah satu pendorong banyaknya penduduk yang tinggal di kawasan rawan.
Baca Juga : Deretan Foto Warga yang Menjarah Mall dan Toko Setelah Gempa dan Tsunami di Palu
Daerah-daerah ini, seperti wilayah awal di Indonesia pada umumnya, menjadi pusat aktivitas masyarakat. Rifai menambahkan, di beberapa daerah tersebut, tekanan akan kebutuhan lahan sangat besar. Hal ini membuat area tersebut berubah menjadi kawasan permukiman padat.
"Itu semua yang secara tata ruang harus dibenahi," ungkap Rifai.
Namun sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan infrastruktur lain, seperti bangunan yang dapat digunakan sebagai tempat perlindungan saat terjadi bencana.
"Artinya, kita seperti menaruh penduduk tepat di hot spot bencana," ujar Rifai.
Dengan demikian, penataan kota seperti Palu tentunya berbeda dengan wilayah lainnya. Rifai menjelaskan, penataan ruang di wilayah-wilayah rawan ini seharusnya tidak padat.
"Atau kalau pun padat, sistem tsunami disaster prevention-nya harus kuat," tambah dia.
Contohnya adalah perlunya temporary evacution shelter yang terletak cukup tinggi dan mudah dicapai dalam waktu singkat.
Jika temporary shelter ini berada di tempat tinggi, maka harus dibangun dengan struktur yang kuat dan mampu menahan gempa dengan skala yang mematikan.
Selain gempa dan tsunami, bencana likuifaksi atau perubahan perilaku tanah akibat getaran gempa juga berkontribusi terhadap kerusakan yang diakibatkan.
"Artinya, tiga bencana ini datang di saat yang bersamaan," pungkas Rifai.
(Rosiana Haryanti)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tiga Hal yang Berakibat Kerusakan Besar di Palu".
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Rumah Tahan Gempa Ini Bukti Nyata Nenek Moyang Kita 'Bersahabat' dengan Gempa