Advertorial
Intisari-Online.com -Pulau Sulawesi berada di zona tumbukan tiga lempeng benua hiperaktif: Eurasia, Australia, dan Pasifik.
Kondisi ini membuat pulau berbentuk huruf “K” itu sangat rentan dilanda gempa dan tsunami.
Salah satu catatan gempa tertua di Sulawesi, seperti termaktub dalam laporan Ahmad Arif di Kompas berjudul "Hikayar Runtuhnya Tanah Runtuh", dibuat oleh Alfred Russel Wallace ketika berkunjung ke Sulawesi Utara pada 1589.
Ah masak kalian tidak tahu Wallace?
Baca Juga : Gempa Donggala Picu Tsunami Palu: Ini Ciri-ciri Terjadinya Tsunami yang Wajib Anda Tahu
Pada 29 Juni 1859 pukul 20.15, ia sedang membaca buku di pondokannya ketika tiba-tiba tanah bergetar hebat.
Mula-mula getaran itu dirasa lemah saja. Namun, gempa itu bertambah kuat sehingga rumahnya bergoyang seperti hendak roboh.
Seperti tertulis dalam bukunya The Malay Archipelego (1869), Wallace menghambur keluar rumah, dan teriakan terdengar di seluruh penjuru kampung.
“Tana goyang! Tana goyang!” Semua orang, berdasarkan catatan itu, lari di luar rumah, perempuan menjerit dan anak-anak menangis.
Tak lama kemudian, Wallace menemukan lampu rumahnya jatuh. Dari situ ia berkesimpulan bahwa gempa itu sanggup merobohkan cerobong asap juga tembok batu bata.
“Namun karena bangunan di sini rendah dan punya kerangka kayu yang kokoh, tidak banyak kerusakan,” tulisnya.
Riwayat gempa Sulteng
Sejak 1927, setidaknya telah terjadi lima kali tsunami di sekitar Teluk Palu—termasuk yang paling baru, Jumat (29/9) kemarin.
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng : Cerita Pilot Batik Air Saat Melihat Gelombang Aneh di Pesisir Pantai Palu
Tsunami pertama yang tercatat melanda Teluk Palu pada 1 Desember 1927.
Pada 1938, terjadi tsunami setinggi 6 meter di tempat yang sama. Yang ketiga setinggi 10 meter, terjadi pada 1968, sementara yang keempat terjadi pada 1 Januari 1996 lalu.