Advertorial

Ketika Para Pengkhianat Menyiksa Pahlawannya di Daerah yang ‘Penuh Buaya’

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Hampir sebelas tahun saya tinggalkan Universitas Silliman, salah satu universitas tua di Filipina Tengah di Kota Dumaguete.

Kota ini merupakan ibu kota Propinsi Negros Oriental. Waktu itu saya sedang mengikuti program S2 di departemen biologi.

Selain mengikuti perkuliahan di semester biasa, saya menyibukkan diri dengan mengambil mata kuliah yang diselenggarakan antara bulan April dan Juni, yang dikenal dengan summer class.

Pada suatu siang, saya menghadiri kuliah di ruang yang kelas-kelasnya hanya dipisahkan oleh hardboard, sehingga suara dosen yang memberi kuliah di kelas sebelah bisa terdengar.

Baca Juga : Seputar G30S: Kisah Sukitman, Agen Polisi yang Lolos dari Lubang Buaya

Dosen muda tersebut tengah mengajar ilmu politik negara-negara ASEAN. Suaranya lantang.

Dari rangkaian kuliahnya, mendadak saya tersentak. "... when the communist rebellion in 1965, the top generals were thrown into crocodile area. This was one of the rudeness of the communist people ...," kata sang dosen di sebelah.

Perhatian saya buyar. Istilah crocodile area telah membuat saya mencari-cari maksudnya. Rupanya, sang dosen memakainya untuk menerjemahkan Lubang Buaya.

Mungkin beliau membayangkan para pengkhianat bangsa menyiksa para pahlawan kita dengan cara melemparkannya ke kolam yang penuh buaya buas.

Baca Juga : Sumur Lubang Buaya, Tempat Korban G30S/PKI Dibuang

Pulang kuliah, saya merasa tidak enak. Saya ingin cepat-cepat meluruskan isi kuliah sang dosen tadi.

Untungnya saya kenal dengan seorang dosen wanita yang mempunyai posisi di jurusan ilmu-ilmu sosial. Saya memberanikan diri main ke rumahnya.

Setelah bicara basa-basi, saya sampaikan maksud kedatangan saya yang sebenarnya.

Saya pun menceritakan peristiwa pembunuhan kejam terhadap para Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya sambil tak lupa mengatakan bahwa Lubang Buaya itu nama tempat dekat Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.

Jadi, bukan lubang yang banyak buayanya.

Legalah sudah rasanya saat saya tinggalkan rumah teman dosen itu. Tak lupa saya juga mengucapkan terima kasih atas kesediaannya menjelaskan duduk perkara Lubang Buaya kepada dosen yang memberi kuliah pagi itu. (Soenarto Notosoedanno – Intisari September 1992)

Baca Juga : Seputar G30S/PKI: Kisah Sukitman, yang Lolos dari Lubang Buaya (1)

Artikel Terkait