Advertorial
Intisari-Online.com - Seorang anak gadis bernoda lumpur berusia 8 tahun memegang luka yang terinfeksi di bagian siku.
Losiko Losepio mengatakan bahwa dia harus bekerja keras untuk menggali dengan sekop berat, padahal dia ingin berada di sekolah.
Dia bekerja di tambang emas di luar kota Kapoeta di Sudan Selatan, sehingga keluarganya dapat menjual emas untuk membeli makanan.
Kadang gadis itu harus bekerja hingga larut malam sehingga dia harus tidur di tambang semalam.
Perang saudara lima tahun di Sudan Selatan telah menghancurkan ekonomi, mendorong pekerja anak di beberapa wilayah paling miskin di negara itu.
Negara kaya mineral namun sangat miskin, Kapoeta telah dipenuhi oleh kelaparan yang parah selama konflik.
Ayah Losepio tidak mampu mendidik sembilan anaknya, sehingga dia hanya menyekolahkan empat anaknya, sedang lainnya bekerja di tambang.
Lusinan anak bekerja di tambang artisanal 20 kilometer di luar kota Kapoeta.
Baca Juga : Pernah Sangat Berkuasa di Dunia, Kekaisaran Romawi Runtuh Karena 4 Hal Ini
Anak-anak kecil mendorong gerobak yang ditumpuk dengan jerigen air di sepanjang jalan tanah yang tidak rata, sementar lainnya menjual pakaian bekas di pasar di bawah terik matahari.
Lebih dari 600 anak yang kebanyakan berusia 8 dan 12 tahun diperkirakan bekerja di berbagai industri di Kapoetra termasuk pertambangan, ritel dan perhotelan.
Jennifer Edward, menteri kemanusiaan dan gender di Kapoeta mengatakan bahwa jumlah anak yang bekerja meningkat dari hari ke hari.
Josephine Modong, seorang pekerja bantuan lokal juga berkata bahwa pengusaha lokal menggunaan anak-anak untuk menjual produk mereka dengan imbalan makanan.
Baca Juga : Vivo V11 Pro Mirip Tampilan iPhone, Ini Harga dan Spesifikasi Lengkapnya!
Menurut International Labour Organization (ILO), seorang anak tidak diperbolehkan bekerja di bawah usia legal minimum negara, yaitu 15 tahun di sebagian besar negara.
Pekerjaan yang berbahaya seperti penambangan termasuk kategori pekerjaan terburuk untuk anak.
Sementara pemerintah Sudan selatan tidak memiliki statistik di seluruh negara mengenai jumlah pekerja anak.
Dia berpendapat bahwa masalah itu bukanlah 'bencana' dan bahwa para majikan mematuhi hukum internasional.
Dia tidak sadar bahwa anak-anak bekerja di tambang di banyak wilayah negara ini.
Titus Lopir berusia 8 tahun ketika dia mulai mencuci piring di sebuah hotel di kota Kapoeta.
Selama dua tahun, anak itu bekerja setiap hari tanpa dibayar, hanya diupah dengan makanan dan tempat berteduh.
Padahal pekerjaannya banyak, termasuk menyalakan api di dapur pada malam hari, memasak untuk staf fan membersihkan piring-piring pelanggan.
Anak itu berkata bahwa pekerjaannya sulit, tetapi dia tidak punya pilihan.
Sekarnag dia sudah 12 tahun dan telah masuk keluar dari kelas di sekolah asrama selama dua tahun.
Dia sering menghilang selama berbulan-bulan untuk mendapatkan uang dengan menjual ponsel curian atau pakaian bekas.
Padahal, anak itu ingin tetap tinggal dan belajar agar bisa menjdi dokter.
Baca Juga : Kebiasaan 'Mandi Bersama' di Jepang yang Unik dan Bikin Ketagihan tapi Banyak Aturannya