Intisari-Online.com – Nama Tamim Pardede mencuat sehubungan dengan ditangkapnya dia dalam kasus ujaran kebencian. Dalam pemberitaan sempat disinggung Tamim Pardede bergelar Profesor Riset dari LIPI.
Namun Kepala Biro Organisasi dan Sumber Daya Manusia LIPI, Dr. Heru Santoso menegaskan, “Sekali lagi, setelah kami melakukan kroscek data kepegawaian, nama Tamim Pardede bukanlah sivitas LIPI dan tidak mendapatkan gelar profesor riset dari LIPI”. Oleh karena itu, pihak LIPI akan melakukan langkah-langkah sesuai prosedur untuk meluruskan pencatutan nama ini.
Timbul pertanyaan, apa beda Profesor Riset dengan Profesor (akademik) di perguruan tinggi?
(Baca juga: Sulit Dipercaya! Dosen Ini Punya 145 Gelar Akademis, Bahkan Masih Ingin Terus Menambahnya)
(Baca juga: Ibu Ini Ikut Mendapat Gelar Master saat Anaknya yang Lumpuh Diwisuda. Alasannya Bikin Haru)
(Baca juga: Luar Biasa, Nenek 72 Tahun Ini Berhasil Raih Gelar Sarjana yang ‘Tertunda’ Selama 50 Tahun)
Dalam blognya, T. Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN, menjelaskan apa itu profesor riset (PR) dan apa pula profesor akademik.
Keberadaan profesor riset diawali dari gagasan Pak Habibie saat menjadi Menristek tahun 1990-an untuk menghargai profesi peneliti. Gagasan itu baru terwujud dengan keluarnya SK Menpan 2004 tentang Jabatan Fungsional Peneliti serta SK bersama BKN dan Kepala LIPI yang mengatur pelaksanaannya. Profesor Riset adalah gelar yang diberikan kepada Peneliti Utama IVe berpendidikan S-3 yang telah menyampaikan orasi ilmiah dalam suatu upacara pengukuhan.
Dari sini terlihat bahwa perbedaan profesor riset dengan profesor akademik di perguruan tinggi adalah perbedaan jalur profesi. Profesor akademik diberikan kepada pemegang jabatan fungsional dosen yang tertinggi (yaitu Guru Besar), sedangkan profesor riset diberikan kepada pemegang jabatan fungsional peneliti tertinggi (yaitu Peneliti Utama IVe). Tentu perbedaan profesi menyebabkan unsur yang dinilai ada perbedaan, tetapi ada beberapa unsur yang sama.
Pertanyaan kemudian, “Profesor” itu gelar atau jabatan? Merujuk pada UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 23 disebutkan, “Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi”.
Pada penjelasannya ditegaskan bahwa jabatan Guru Besar identik dengan profesor, “Guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan perguruan tinggi”. Sedangkan di aturan jabatan fungsional dosen (Keputusan Menko Wasbangpan nomor 38/KEP/MK.WASPAN/8/1999 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya) tidak ada terminologi “Profesor”, yang ada hanya “Guru Besar”.
Jadi, profesor akademik adalah jabatan, bukan gelar. Berarti ada batas waktunya.
Tetapi, merujuk pada aturan jabatan fungsonal peneliti, “Profesor Riset” adalah gelar kehormatan, artinya tetap melekat tidak ada batas waktunya, seperti halnya gelar Doktor. Keputusan Menpan Nomor Kep/128/M.PAN/9/2004 tentang Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya pasal 25 ayat 2 menyatakan “Bagi Peneliti Utama yang telah menduduki pangkat Pembina Utama golongan ruang IV/e, disamping memenuhi ayat (1) wajib melakukan orasi ilmiah di depan Majelis pengukuhan Peneliti Utama untuk mendapatkan gelar Profesor Riset”.
Butuh 20 tahun
Dalam suatu wawancara seputar gelar PR dengan Suara Pembaruan (15 Februari 2006), Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Peneliti LIPI Betty Riadini menyatakan bahwa PR merupakan satu bentuk penghargaan bukan materi yang diberikan kepada peneliti yang selama bertahun-tahun telah melakukan penelitian secara terus- menerus.
Berbeda dengan pengajar, peneliti dituntut mengadakan inovasi. Seorang PR harus bisa membimbing, mengader peneliti di bawahnya. Artinya, pengajaran dan penelitian menjadi satu hal yang tidak terpisahkan.
Sebenarnya lebih kepada profesionalitas kepakaran karena peneliti memiliki standing. Artinya nilai lebih dalam hal penelitian.
Betty menambahkan bahwa di LIPI, sudah dikeluarkan bidang kepakaran yang bertujuan agar pihak- pihak di luar penelitian yang membutuhkan seorang pakar akan mudah menemukan siapa penelitinya.
“Referensi kita (soal kepakaran, Red) juga ada dari UNESCO, Australia, dan Inggris. Cuma, kita mengadopsinya dengan sedikit pergeseran sesuai dengan tugas dan fungsi.
“Memang masih ada banyak yang merasa tidak terakomodasi, namun hal ini, kalau saya melihatnya, lebih kepada pribadi masing-masing.
“Bidang kepakaran dibagi dalam tiga digit. Digit pertama merupakan hal makro, digit kedua menyangkut bidang penelitian seorang peneliti, digit ketiga baru menyangkut kepakaran.
“Misalnya, seorang peneliti biologi, pada digit satu, masih umum. Kemudian, pada digit dua sudah lebih dalam, misalnya menyangkut botani. Digit tiga, sudah menyangkut spesialisasi tumbuhan langka.”
Secara umum seorang peneliti membutuhkan waktu 20 tahun untuk mencapai tingkat itu. “Tapi, kalau cemerlang ada yang 10 tahun,” kata Betty.