Kita Bisa Mencontoh Mereka, Banyak Tokoh Dunia Mencari Kesempurnaan Moral dengan Puasa

Moh Habib Asyhad

Penulis

Dalai Lama: Rahasia Panjang Umur Ada di Kepala
Dalai Lama: Rahasia Panjang Umur Ada di Kepala

Intisari-Online.com – Banyak tokoh dunia yang mencari kekuatan mental serta kesempurnaan moral dengan melakukan puasa.

Mahatma Gandhi, tokoh legendaris India dalam bidang politik maupun spiritual, sengaja berpuasa selama 21 hari demi mencapai tujuan perjuangannya bagi perdamaian India.

Bung Karno dalam kegigihan dan heroismenya, disebut sering berpuasa, terutama pada saat-saat kritis melawan penjajah Belanda maupun Jepang.

(Baca juga:Pernah Gagal? Jangan Khawatir, 3 Tokoh Dunia Ini Juga Pernah Gagal)

--

Ibadah puasa setiap bulan Ramadhan, seperti yang sedang ditunaikan oleh umat Islam pada bulan Ramadhan ini pun tidak hanya mengandung manfaat rohani.

Menurut acuan teori yang logis konseptual, berikut hasil eksperimen, atau riset di Barat, ternyata ibadah puasa sangat potential untuk mencekal berbagai penyakit atau mempercepat proses (katalisator) penyembuhannya.

Tanpa sikap sabar, tawakal, dan syukur, maka jiwa kita meski beridentitas mukmin atau mukminat dinyatakan sakit atau mengidap penyakit rohaniah.

Namun, berkat ibadah puasa dengan penuh keimanan dan tulus ikhlas mampu mempercepat proses penyembuhan berbagai penyakit.

Itulah sebabnya Allah S.W.T. sudah menegaskan bahwa segala penyakit sesungguhnya ada obatnya, namun orang sering terpaku pada pengobatan lahiriah saja.

Ekses modernisasi

Dampak modernisasi dengan segala eksesnya di segala bidang kian terasa, khususnya terhadap kesehatan individu dan sosial. Seperti kita ketahui, masalah kesehatan berpengaruh langsung terhadap kualitas sumber daya manusia.

Sebab itu, ekses-ekses yang biasa timbul sebagai akibat sampingan dari kehidupan modern perlu kita tekan sekecil mungkin dengan berbagai cara yang lebih berdaya guna.

Perusahaan-perusahaan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia kini tengah dipacu melangkah maju dengan inovasi dan investasi di bidang riset dan pengembangan dalam upaya menjadikan negara-negara ini berkekuatan ampuh di bidang teknologi seperti Eropa, AS, dan Jepang.

Kemajuan pesat di bidang sains dan teknologi selama ini memang patut disyukuri. Namun, jangan lupa, sudah sering diingatkan oleh para ahli sosiologi bahwa modernisasi – di mana saja dan kapan saja – menimbulkan the agony of modernization.

(Baca juga:Ini Dia, Tujuh Rahasia Mahatma Gandhi Menjaga Kesehatan Tubuhnya)

Derita sebagai dampak modemisasi ini dialami oleh hampir semua orang dalam kadar yang bervariasi.

Yang paling akil adalah mereka yang belum dapat beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat, sekaligus tidak mengamalkan ajaran agamanya.

Ekses-ekses dari modernisasi sebenarnya sudah disinyalir pakar kedokteran jiwa sebagai biang penyebab penyakit psikosomatis, lantaran kehidupan modern tak jarang menimbulkan stres yang tak terkontrol.

Tantangan yang kita hadapi dalam kehidupan modern ini, bukan hanya penyakit fisik dan mental, tetapi sekaligus penyakit sosial. Bagaimana tidak?

Gaya hidup individualistis dan kesenjangan sosial sebagai ekses modernisasi kini kian tajam. Tak diragukan lagi bahwa penyakit sosial berakar dari kondisi kesehatan masing-masing orang.

Oleh karena itu, status kesehatan seseorang menurut WHO harus meliputi kesehatan fisik, mental, dan sosial.

Sedangkan pengamalan ibadah - berpuasa terutama - bukan hanya akan mencekal berbagai penyakit yang dipicu oleh stres lepas kendali, tetapi juga dapat memperbaiki kondisi kesehatan sosial seseorang.

Sebab, kalau ibadah ini diamalkan dengan penuh keimanan dan ketulusan hati, otomatis akan menggugah altruisme atau rasa cinta kasih tanpa pamrih terhadap sesama manusia.

(Baca juga:Mohammad Hatta: Biarlah Indonesia Tenggelam ke Dasar Lautan Kalau Tetap Dikuasai Penjajah)

Pengendali stres

Kehidupan dalam arus modernisasi - di kota-kota besar terutama - sering diliputi stres yang tak terkontrol, lebih-lebih dengan seringnya terjadi kemacetan lalu lintas dan kejahartan yang terjadi seperti akhir-akhir ini.

Tetapi, jahatkah stres itu?

Pada dasarnya stres bisa berpengaruh negatif maupun positif, tergantung orangnya. Seperti kita ketahui, persoalannya iergantung apakah kita bisa mengendalikannya atau tidak.

Orang-orang yang tak mampu mengendalikan stres itu merasa tertekan dan tak tenang.

Kondisi psikis yang serba tak enak itu, menurut riset kedokteran, telah memicu timbulnya berbagai penyakit berat, yaitu penyakit kardiovaskuler (pembuluh darah dan jgntung), hipertensi, ginjal, tumor/kanker, diabetes, maag, depresi, dan insomnia.

Tak heran bila pihak WHO menyebutkan, stres lepas kendali ini merupakan pembunuh terbesar di dunia.

Statistik perihal itu menunjukkan "penyakit gaya hidup modern" yang 30 tahun silam tak dikenal di negara-negara berkembang kini malah jadi penyebab kematian 40 - 50%.

Dalam bukunya The Turning Point: Science Society and the Raising Culture, Capra menyatakan stres lepas kendali merupakan salqh satu ekses modernisasi yang diakibatkan oleh terpisahnya sains dan teknologi dari pengaruh spiritual keagamaan.

Padahal, jenius kaliber dunia Albert Einstein pernah berkata, "Ilmu pengetahuan tanpa agama akan buta dan agama tanpa ilmu pengetahuan akan lumpuh."

Sebenarnya, kalau saja stres itu kita kendalikan dengan berpuasa secara reguler misalnya, minimal bisa membangkitkan energi mental agar orang bersemangat, percaya diri, dan optimistis, sehingga bersikap pantang mundur serta selalu terpacu untuk mencapai prestasi atau kesuksesan yang diridhai Tuhan.

Dengan kata lain, stres yang terkendali justru merupakan daya pendorong, tenaga konstrukstif di balik kreativitas, yaitu untuk mengungkit prestasi dalam bidang apa saja.

Perubahan jadwal makan-minum selama berpuasa pun tak luput dari stres, sebab orang harus, menahan lapar dan dahaga seharian. Untungnya, hal itu, menurut hasil riset, hanya memiliki nilai stres 15.

Ini ternyata jauh di bawah nilai stres 29 akibat perubahan tanggung jawab dalam pekerjaan, dan nilai stres 53 akibat sakit atau kecelaka,an.

Yang lebih menggembirakan lagi, sesudah orang berpuasa memasuki minggu kedua, umumnya stresnya kian terkendali, lantaran fisik maupun mentalnya sudah bisa beradaptasi secara mantap.

Jadi, dengan berpuasa pun kita bisa mengendalikan stres.

(Baca juga:Soal Penembakan Orlando, Dalai Lama: Semua Agama Punya Orang Jahat)

Sebagai psiko-fisioterapi

Karena berpuasa secara teratur mampu mengendalikan stres, maka tak heran jika terapi puasa ini berkembang peminatnya dan cukup populer di Eropa dan Amerika Serikat.

Karena berbagai penyakit berat akibat pengaruh stres berkepanjangan bisa dicekal atau dipercepat proses penyembuhannya di samping upaya medis.

Di klinik dekat Pyrmont, Jerman, dr. Otto Buchinger dan kawan-kawan telah banyak menyembuhkan pasien dengan terapi puasa. Penyembuhan meliputi penyakit fisik dan kejiwaan, sehingga bisa dikatakan sebagai psiko-fisioterapi.

Setelah para pasien dirawat secara medis selama sekitar 2 - 4 minggu dan berdisiplin puasa, ternyata mereka lebih cepat sehat dan segar kembali baik fisik maupun mentalnya.

Juga lebih bergairah hidup. Berbagai penyakit, antara lain penyakit kardiovaskuler, ginjal, kanker, hipertensi, depresi, diabetes, maag dan insomania, juga dapat disembuhkan.

Dr.- Yuli Nekolar dari Moscow Institute of Psychiatry pun melaporkan hasil risetnya bahwa upaya penyembuhan secara medis yang disertai dengan terapi puasa hasilnya lebih baik dan lebih cepat.

Hal ini juga telah dibuktikan kehandalannya oleh para pasien yang menjalani terapi puasa itu di sejumlah klinik Health Spa di Amerika.

Meski cara berpuasa di klinik itu tak persis sama dengan praktek puasa Ramadhan, tapi dasar fisiologi dan biokimia yang terjadi dalam tubuh pada prinsipnya sama.

Manusia modern hingga kini masih kewalahan menghadapi ulah aneka macam penyakit.

Entah itu penyakit fisik maupun mental, di samping penyakit sosial yaitu dalam hal pencegahan, penyembuhan, dan terutama dalam upaya mengatasi perkembangan penyakit.

(Baca juga:Hati-hati, Minum Obat saat Puasa Ada Aturannya, yang Bisa Berakibat Fatal Jika Diabaikan)

Sebab terbukti bahwa obat-obatan hasil rekayasa otak manusia, dari yang tradisional sampai yang dijamin secara medis, bisa manjur namun bisa juga tidak mempan, padahal sering harus ditebus dengan biaya relatif mahal.

Belum lagi kita dihadang untuk menanggulangi keganasan penyakit AIDS yang belum ada obatnya.

Namun, segala penyakit "canggih" itu tentu tak akan mampu mendekat apabila kita melaksanakan komitmen iman-takwa-moral yang menjadi esensi ibadah puasa.

Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan. (Soekimo, Ketua Forum Kajian Islam dan Aplikasi Sosial-Kemasyarakatan-dan pustakawan pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI Jakarta)

(Pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1998)