Intisari-Online.com – Sekarang ini mulai banyak astronaut beragama muslim.
Sheikh Muszaphar Shukor dari Malaysia, salah satunya. Ia adalah anggota kru pada misi ke-16 untuk Stasiun Luar Angkasa Internasional.
(Baca juga:Tak Hanya Gigi, Lidah Juga Perlu Dijaga Kesehatannya. Ini 8 Cara Mudahnya!)
Astronaut pertama di Malaysia ini meluncur pada 10 Oktober 2007 menggunakan pesawat luar angkasa Soyuz Rusia untuk kunjungan sembilan hari selama bulan suci Ramadan ke Stasiun Luar Angkasa Internasional.
Timbul pertanyaan, bagaimana Shukor melaksanakan kewajiban agamanya yakni salat selama ia mengangkasa? Juga berpuasa saat di bulan Ramadan itu?
"Sebagai seorang Muslim, saya berharap bisa melakukan tanggung jawab saya," kata Shukor. "Saya berharap bisa berpuasa di luar angkasa," katanya sebelum berangkat.
Badan Antariksa Malaysia, Angkasa, mengadakan konferensi yang melibatkan 150 ilmuwan Islam tahun sebelumnya untuk membahas persoalan itu.
Hasilnya disarikan dalam sebuah buku petunjuk berjudul "Sebuah Pedoman Pelaksanaan Ibadah (Sembahyang) di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS)", telah disetujui oleh Dewan Fatwa Nasional Malaysia awal tahun 2007.
Menurut laporan tersebut, astronaut yang akan salat bisa menentukan kiblat berdasarkan prioritas ini: 1) Kabah, 2) proyeksi Kabah di angkasa, 3) Bumi, 4 ) sembarang arah.
Selain mengurusi segala hal yang berkaitan tentang pelaksanaan salat, buku panduan tersebut sedikit membahas tentang bagaimana seorang muslim melaksanakan ibadah puasa di luar angkasa.
(Baca juga:Yana Zein Gemar Minum 'Cola': Inilah 8 Pengganti Soda Berkarbonasi yang Tak Kalah Menyegarkan)
Menurut buku petunjuk tersebut, seorangastronaut muslim dalam konteks ibadah puasa Ramadan bisa melaksanakan ibadahnya tersebut di Luar Angkasa (dalam hal ini stasiun Luar Angkasa Internasional atau ISS) atau meng-qada ibadahnya setiba di bumi.
Selain itu, jika si astronaut memilih melaksanakan ibadah puasa di luar angkasa, ia harus menggunakan waktu saat astronaut tersebut diterbangkan ke luar angkasa.
Perihal makanan, jika ada keraguan apakah makanan yang dihidangkan halal atau haram, diperbolehkan memakan makanan tersebut agar tidak mengalami kelaparan.
Namun, ibadah sesungguhnya adalah perkara yang cukup pelik bagi astronot muslim.
Astronot membutuhkan tingkat konsentrasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Kekurangan makanan dan minuman sangat berpengaruh terhadap konsentrasi yang dimiliki si astronot muslim.
Masalahnya, bagaimana mengarahkan diri ke kiblat? Ada dua aliran pemikiran yang berbeda untuk hal itu: metode Lingkaran Besar yang umum digunakan dan metode rhumb-line yang kurang umum.
Dr. Kamal Abdali, kartografer yang juga beragama Islam, menyukai metode Lingkaran Besar, namun menambahkan, "Doa bukanlah latihan senam. Seseorang seharusnya berkonsentrasi pada doanya, bukan soal arah."
Dia mencontohkan bahwa di dalam kereta atau pesawat, biasanya dimulai dengan arah kiblat tapi kemudian melanjutkan doa tanpa khawatir posisi arah kiblat berubah karena perubahan posisi pesawat atau kereta.”
(Baca juga:Ditemui Manajemen Mitsubishi, Bayi Bernama ‘Pajero Sport’ dapat Hadiah Kejutan)
Tapi bagaimana cara kerjanya di luar angkasa?
Secara matematis, Shukor perlu menempatkan ISS dan Mekah di bidang imajiner yang sama - dengan membandingkan tempat di Bumi tepat di bawah ISS dengan Kabah yang sebenarnya, atau dengan memproyeksikan Kabah ke luar angkasa (seperti yang diprioritaskan dalam rekomendasi Fatwa Dewan).
Namun pilihan untuk berdoa sambil menghadap ke suatu titik di ruang angkasa menimbulkan masalah lain. Posisi tanpa gravitasi bisa membuat Muslim menghadap ke bulan atau matahari, dan ini bisa menimbulkan salah persepsi soal penyembahan berhala.
Bagaimana akal Shukor, setidaknya saat salat ia bisa dalam kondisi agak diam?
Ia mengikat kakinya ke lantai, lalu menjalankan kewajibannya.