Kasus Dokter Fiera Lovita: Persekusi, Buah Dunia Digital yang Makin Brutal

Agus Surono

Penulis

Bisnis di Era Digital: Hampir 70% Klien Datang dari Instagram
Bisnis di Era Digital: Hampir 70% Klien Datang dari Instagram

Intisari-Online.com - Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tindakan persekusi berartipemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas.

(Baca juga: Punya Bentuk yang Tak Lazim, Puding Ini Viral dan Tuai Kontoversi di Media Sosial)

Jika kita memperhatikan hiruk pikuk dunia media sosial, kita akan mudah menemukan tindakan-tindakan seperti itu. Kasus yang masih hangat adalah yang menimpa dr. Fiera Lovita. Gara-gara postingannya di Facebook, dokter yang berpraktik di RSUD Solok, Sumatra Barat ini curhat soal intimidasi yang dialaminya. Kasusnya menjadi viral di dunia media sosial.

Terkait akan tindakan persekusi yang didasari postingan seseorang di media sosial, Regional Coordinator Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Damar Juniarto mengatakan kepadaKompas.com, aksi persekusi tesebut menjadi ancaman serius terhadap demokrasi. Menurut Juniarto, tindakan persekusi bisa membuat proses penegakan hukum seakan-akan berdasarkan tekanan massa.

Menggunakan media sosial memang gratis dan mudah, tetapi bukan berarti Anda bisa berperilaku sembarangan. Ada sejumlah etika yang patut dituruti saat Anda ingin menyebarkan atau menulis sesuatu di media sosial. Khususnya untuk menghindari tindakan persekusi yang bakal sangat merugikan Anda.

(Baca juga: Hati-hatilah! Monster Penghasut dan Provokator di Dunia Maya Itu Bernama Internet Troll)

Ingat, dunia maya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan dunia nyata. Bedanya, tetangga kita tidak terbatas wilayah. Yang menjadi pembatas wilayah adalah pertemanan.

Namun, pertemanan di dunia maya begitu cairnya dan apa yang tertuang di dunia maya, dengan cepat akan menyebar. Menuliskan ujaran kebencian bisa dianalogikan dengan kita berteriak-teriak membenci seseorang di tengah-tengah perkampungan.

Pemerintah harus memberi perlindungan penuh

Juniarto menganggap, aksi main hakim tersebut menunjukkan adanya ketidakpatuhan hukum. Menurut dia, semestinya langkah yang pertama kali dilakukan begitu menemukan postingan penghinaan tokoh tertentu di media sosial, yakni dengan melayangkan somasi dan mediasi.

"Bila mediasi tidak berhasil, barulah melaporkan ke polisi. Kemudian mengawasi jalannya pengadilan agar adil," kata Juniarto.

Aksi persekusi tersebut membuat warga negara merasa tidak terlindungi karena absennya asas praduga tak bersalah. Tak hanya itu, orang yang ditarget juga merasa terancam nyawanya karena identitasnya diumbar di media sosial dan muncul seruan untuk beramai-ramai menyerang orang tersebut.

"Bila dibiarkan akan mengancam kebebasan berpendapat secara umum," kata Juniarto.

(Baca juga: Internet Troll: Banyak Orang yang Menikmati Perannya Sebagai Penyebar Kebencian di Dunia Maya)

Juniarto menyebut kasus persekusi ini muncul pasca-kasus penistaan agama yang menjerat Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Menurutnya, aksi tersebut menyebar merata di seluruh Indonesia dan perlu menjadi perhatian serius karena tingkat ancamannya yang nyata.

Persekusi dilakukan dengan cara melacak status orang-orang yang dianggap menghina tokoh agama, kemudian menginstruksikan massa untuk memburu target yang identitas dan foto hingga alamat rumah sudah diumbar ke publik.

Tak cukup sampai di situ, rumah atau kantor target juga digeruduk massa. Setelah itu, target dilaporkan ke polisi dengan ancaman Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Damar Juniarto mengimbau Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk meredam persekusi yang memanfaatkan media sosial. Menurut dia, hal tersebut telah melanggar hak privasi dan mengancam kebebasan berekspresi.

Selain itu, pemerintah diminta memberi perlindungan penuh kepada orang-orang yang menjadi target persekusi.

"Setiap orang harus dijamin untuk dilindungi dengan asas praduga tak bersalah dan terhindar dari ancaman yang membahayakan jiwanya," kata Juniarto.

Jangan sampai dunia digital menghasilkan buah-buah yang semakin brutal.

Artikel Terkait