Intisari-Online.com - Kekuatan media sosial akan selalu muncul dalam peristiwa-peristiwa yang mengguncangkan sisi-sisi kemanusian.
Namun, kekuatan itu bisa menjadi bumerang bila tidak dipergunakan dengan semestinya.
Dalam kasus bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur, selain informasi soal bom itu, menyeruak pula foto-foto korban bom. Jika di media arus utama foto-foto itu akan disensor karena banyak alasan, tidak demikian dalam media sosial.
Meski ada yang namanya netiket, tidak semua warga internet paham dengan etika di internet.Jadi, ada yang langsung menyebarkan foto-foto itu tanpa disensornya terlebih dahulu. Potongan badan bersimbah darah pun berseliweran tak seberapa lama dari waktu kejadian.
Sebenarnya, apa motivasi orang yang tega menyebarluaskan gambar atau video potongan tubuh korban?
Psikolog Ratih Andjani Ibrahim, M.PSi, menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa banyak orang yang langsung menyebarkan foto-foto korban bom sesaat setelah kejadian pada Rabu (24/5/2017) malam.
"Motivasinya ada yang positif ada yang negatif. Yang positif mungkin pada dasarnya ingin memberi tahu ada sebuah tragedi. Dengan menyebarkan ia ingin supaya kita juga aware," kata Ratih kepada KompasLifestyle(25/5/2017).
Ia juga meyebut, dengan menyebarkan foto tersebut mungkin supaya kita juga ikut mendoakan. "Ada daya empati dan dengan adanya kejadian yang menimpa korban, kita diingatkan untuk mawas diri," paparnya.
Selain itu, ada juga orang yang ingin menyebarkan foto korban karena ada kecenderungan menyukai sebuah sensasi.
"Kalau berita atas sebuah peristiwa hanya berupa teks saja daya sensasinya hilang. Jadi berita langsung lewat saja. Makanya, ditambah bumbu-bumbu sensasi berupa foto-foto itu untuk menunjukkan dampak terburuk dari sebuah kejadian," papar direktur lembaga psikologi Personal Growth ini.
Namun, ada juga motivasi negatif dari penyebar konten mengerikan itu. Menurut Ratih, di kelompok ketiga ini adalah orang yang memang sengaja ingin menyebarkan teror.
"Ada orang yang memang menyukai kekejian dan kekerasan. Mereka menikmati dan juga menikmati dampak dari kekerasan yang terjadi pada orang lain. Jadi, gambar korban itu di-share untuk memberikan teror itu," katanya.
Ratih menjelaskan, sulit membedakan apakah motivasi penyebar foto itu positif atau negatif. Tetapi, kita bisa melihat pola perilakunya dari rekam jejak sebelumnya.
"Kalau orang itu minta maaf dan berhenti menyebarkan, mungkin dia termasuk orang yang niat awalnya baik atau polos tidak tahu bahwa itu tidak pantas. Tapi kalau orang itu sering melakukan, kemungkinan dia memang sengaja. Orang yang senang kekejian," katanya.
Pada orang yang hati nuraninya masih baik, menurut Ratih, pasti akan risih melihat foto-foto tersebut. "Kemanusiaan kita tercederai," imbuhnya.
Hukuman sosial untuk penyebar konten mengerikan seperti korban kecelakaan atau bom, menurut Ratih diperlukan.
"Bisa kita block atau keluarkan dari grup percakapan," ujarnya. (Kompas.com/Lusia Kus Anna)