Intisari-Online.com – Kebakaran melanda Kampung Cisaban, Desa Kanekes, yang terletak di kawasan Baduy Luar. Sampai berita ini diturunkan, tercatat 84 rumah warga hangus terbakar.
Tidak kurang dari 105 kepala keluarga dan 365 penduduk harus mengungsi ke kampung-kampung yang berada di sekitarnya.
(Baca juga: Desa Kanekes, Kearifan Lokal Masyarakat Baduy)
Menurut Kasie Pemerintahan Desa Kanekes, Sarpin, kepada kumparan.com, kebakaran dipicu oleh tungku masak salah satu rumah warga. Api cepat menjalar karena rumah adat terbuat dari kayu yang mudah terbakar.
Untuk mengingatkan kembali tentang suasana di Baduy, berikut ini dimuat ulang artikel berjudul ‘Baduy Maafkan Kami’ yang ditulis oleh Christantiowati.
--
Baduy, Maafkan Kami
Puluhan artikel dan pemaparan slide tentang Baduy tak cukup memberi bekal mengikuti photo hunting bersama Don Hasman, fotografer senior, yang 29 tahun terakhir rutin mengunjungi perkampungan Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten itu.
(Baca juga:Don Hasman, Pendekar Peduli Baduy?)
Perjalanan ini memberi banyak kejutan.
Alih-alih merasakan suasana damai, tenang, sunyi seperti laporan kisah-kisah perjalanan, saya justru cenderung jengah dan merasa bersalah.
"Aduh, banyak banget orang sih," gumam seorang pria dalam bahasa Sunda. la harus menyeruak kerumunan tetamu agar bisa melintasi jembatan bambu sepanjang 42 m menuju Kampung Gajeboh sambil memikul hasil kebun.
Sebuah gambaran betapa Suku Baduy sudah lak lagi menjadi tuan rumah.
Walau kerap bertemu orang Baduy di Jakarta yang menawarkan madu dan hasil kerajinan tangan, menjumpai suku Baduy di tanah leluhurnya sendiri memberi getaran lain.
"Kami Masyarakat Adat Kanekes, bukan Baduy," kata H. Arifin, yang mewakili warga ini dalam pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 1999.
Baduy - untuk membedakan dari Badui, suku padang pasir di lanah Arab - adalah sebutan Belanda, diambil dari nama gunung dan Sungai Cibaduy yang mengalir di batas Kampung Kaduketug, berbatasan dengan Ciboleger, kampung terluar sekitar 75 km selatan Rangkasbitung.
Mereka sendiri membagi diri dalam dua kelompok besar: Baduy Dalam (mencakup tiga desa yaitu Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo) dan Baduy Luar yang terdiri atas 49 desa.
Kedua kelompok dibedakan menurut ikat kepala yang dipakai. Baduy Dalam dengan romal (ikat kepala putih)-nya, sedangkan Baduy Luar dengan ikat kepala batik bermotif adat yang dipesan dari Cirebon.
Konon mereka keturunan Sunda Priangan dari Kerajaan Hindu Pajajaran yang menolak masuk Islam dan memilih hidup mengucilkan diri di hutan Kanekes pada ketinggian 300 - 775 m dari permukaan laut dan bersuhu 20 - 24°C.
Sebagai sebuah masyarakat yang unik, Baduy kemudian menarik untuk dikunjungi. Sekali waktu pada 1995 tercatat lebih dari 1.500 orang melakukan lintas alam atas nama "wisata lingkungan" ke hutan masyarakat Baduy.
Bisa dibayangkan kerusakan yang ditimbulkan, dari sampah yang disebar hingga "penggemburan tanah."
Suasana macam itu pula yang mungkin terjadi pada perjalanan kali ini. Padahal, 17 - 19 Oktober 2003 itu belum masuk liburan sekolah, hanya akhir pekan biasa.
Cikeusik dan Cikertawana di Baduy Dalam betul-betul tenang, damai, dan bersih. Hanya orang Indonesia dan sudah disunat yang boleh masuk kawasan ini.
Orang berkulit putih, kuning, atau hitam (Afrika) hanya bisa sampai di Baduy Luar.
Di Baduy Dalam kita disuguhi pemandangan suhunan, rumah panggung beratap rumbia, 1 m di atas tanah dengan tiga anak tangga yang berjejer mengikuti tinggi rendah tanah yang tak dirapikan.
Balok kayu dan bambu jadi tiang penyangga utama, dinding bilik anyaman bambu diikat tali ijuk atau dipasak dengan bambu, teu meunang (dilarang) pakai paku dan besi buatan pabrik.
Walau tak mengizinkan tamu menginap, beberapa warga Cikeusik dan Cikertawana ramah menawarkan rebusan daun kuat tulang penghilang rasa lelah dan dahaga.
Menjelang senja, setelah sekitar lima jam jalan kaki, akhirnya sampailah di Cibeo, satu-satunya kampung di Baduy Dalam yang membolehkan tamu menginap, walau semalam.
Rumah Ardi (mertua Odong, salah satu pengangkut barang kami), tempat kami menginap, memakai penerangan minyak picung (kluwak). Listrik teu meunang.
Namun, di Cibeo suasana khas Baduy nyaris tak terasa. Sementara masih menahan diri unluk lak memotret, tak gaduh, para pedagang dari luar Baduy serasa di runiah sendiri.
Mereka ramai menawarkan barang-barang yang nota bene hasil kcrajinan orang Baduy sendiri bahkan kadang lebih murah dari tawaran Odong.
Hampir tiap rumah terisi tamu yang menginap. Mi instan tampaknya sedang jadi kesukaan, bukan hanya nasi dan ikan asin. Kulit permen berserakan.
Mandi di sungai, saya sempat lupa menggunakan shampo yang mestinya dilarang.
Wanita Baduy memakai ramuan tumbuhan untuk menjaga kemurnian sungai sumber air minum dan mencuci beras itu.
Namun, di Gajeboh, kampung Baduy Luar, tempat kami menginap esoknya, sampah bungkus mi instan menggunung di tepi sungai.
Wanita Baduy Luar bahkan memanfaatkan gelas styrofoam bekas mi instan sebagai gayung mandi.
"Ulah kadieu (tak boleh ke sini)," kata seorang wanita tua, halus, ketika saya nyasar ke halaman rumah adat kediaman jaro, yang biasanya dijaga agar tak dimasuki puluhan tamu.
Suasananya sudah seperti kampung biasa. "Besok datang lagi 250 tamu," kata putra Nasinah, tuan rumah kami.
Mungkin warga Baduy sebenarnya tak suka kampung mereka berubah. Tapi, terlalu ramah untuk menolak. Maafkan kami ....
(Seperti ditulis oleh Christantiowati dan dimuat di Intisari edisi Januari 2004)