Mengapa Harus Marah dan Membiarkan Ego Menguasai Diri Kita?

Moh Habib Asyhad

Editor

Kemarahan merupakan racun perusak jiwa.
Kemarahan merupakan racun perusak jiwa.

Intisari-Online.com – Terus terang, sampai kemarin saya masih mendongkol. Cenderung kesal, bahkan marah.

Seorang teman lama, yang dulu pernah saya bantu beri modal usaha dan kini kabarnya telah jadi jutawan, menyambut dingin jabat tangan saya, saat tak sengaja bertemu di sebuah mal di Jakarta Barat.

(Baca juga:Bule pun Tergila-gila dengan Kelezatan Indomie, Inilah Sosok di Balik Nikmatnya Rasa Indomie yang Jarang Kita Ketahui)

Sikapnya terasa angkuh, seolah saya bukan siapa-siapa. Bicaranya kikir kata, seperlunya, dan agak ketus. Sepertinya ingin segera menyudahi perjumpaan.

Jangan-jangan dia kira saya mau mengutang, atau malah minta uang. Apa tak ingat, dulu makan pagi-siang-malam saya yang bayari? Termasuk rokok dan nonton bioskop, saya traktir.

Bahkan modal yang saya pinjamkan belum ia kembalikan seluruhnya.

Selama seminggu tak sekejap pun ia lepas dari pikiran. Sakit rasanya hati ini. Saya ceritakan kejadian itu pada setiap teman. Celaka, saya sempat menyumpahi agar usahanya bangkrut. Biar tahu rasa.

Sebagian teman-teman merasa aneh, kok saya berubah jadi amat sensitif. Seorang sahabat coba saya hapus dari memori. Apa memang saya layak berbuat seperti itu? Tidakkah saya terlalu egois?

Ego? Ya, ternyata saya telah membiarkannya "bermain" tanpa kendali. Ego beraksi dengan "menyamakan" dan "membedakan" saya dengan sesuatu di luar diri saya. Ego menyamakan saya dengan emosi saya.

(Baca juga:Situs Telkomsel Diretas, Bagaimana Nasib Data Pelanggannya?)

Rasa tersinggung, marah, merasa diremehkan, adalah emosi yang sebelumnya tak ada, tapi lalu menjajah saya berhari-hari.

Ego juga membedakan saya dengan teman lama itu, bahwa dulu ia miskin, dulu saya suka mentraktirnya, dulu saya memberinya modal usaha.

Padahal, dulu saya melakukannya dengan ikhlas. Lalu kenapa kini saya "terpisah" dengannya? Sedemikian halus ego menguasai saya.

Pelan saya buka dompet, mencari kartu nama teman saya. Saya telepon dia. Tak dinyana, ia meyambut dan menyadari telah bersikap kurang patut.

Ternyata, ia baru ditipu rekan bisnis, ratusan juta. Pantas saat itu ia tidak fokus. Ah, ego telah mengubah saya menjadi orang lain. Ego telah memanipulasi saya.

Ya, mengapa saya harus marah? (Not)

Artikel Terkait