Advertorial
Intisari-Online.com – Ini adalah kisah Farah Alhajeh dari kota Uppsala, Swedia, Stockholm.
Pada Mei 2016, wanita berusia 24 tahun itu mendapat panggilan wawancara kerja dari sebuah perusahan.
Wawancara itu untuk pekerjaan sebagai penerjemah yang diminatinya.
Nah, petugas yang mewawancarainya adalah seorang pria.
Sebagai seorang wanita muslim, ia menolak berjabat tangan dengan pewawancaranya.
Sebagai gantinya ia memberi salam dengan cara menangkupkan kedua tangannya di dada.
Gegara penolakannya itu, wawancara pekerjaan langsung dihentikan.
Baca juga:Per Juli 2018, Utang Pemerintah Rp4.253 Triliun Sementara APBN Defisit Rp151,3 Triliun
Farah pun tidak bisa menerimanya dan menganggap perusahan itu melakukan diskriminasi terhadap dirinya sebagai wanita Muslim.
Kasus itupun diajukan ke pengadilan di Swedia.
Ternyata pengadilan buruh berpendapat serupa dengan Farah dan memerintahkan perusahaan memberikan kompensasi untuk wanita itu.
Dilansir dari BBC, Kamis (16/8/2018), besar kompensasi yang ditetapkan pengadilan sebesar 40.000 kronor atau sekitar Rp68,4 juta.
Baca juga:Dari Kerajaan Ubur-ubur Hingga Gerbang Surga, Inilah 5 Sekte Teraneh yang Pernah Ada
Bebarapa Muslim menolak bersentuhan dengan orang berlawanan jenis, kecuali bila mereka masih ada hubungan keluarga.
Meskipun demikian, berjabat tangan adalah tradisi di Eropa.
Sebagai tambahan, undang-undang antidiskriminasi mungkin melarang perusahaan dan badan umum memperlakukan orang berbeda karena jenis kelamin mereka.
Kantor ombudsman diskriminasi di Swedia, yang mewakili Farah Alhajeh, mengatakan keputusan itu berakibat pada ‘minat pekerja danhak individu bagi integritas jasmani’.
Baca juga:Demi Habisi Pasukan Nazi, Sniper Wanita Rusia Harus ‘Tidur’ Bersama Mayat Selama Berhari-hari
Selain itu juga, kepentingan pendapat untuk mengatur perlindungan bagi kebebasan beragama.”
Bagaimana pendapat dari perusahaan akan aturan itu?
Perusahaan penerjemah berargumen bahwa staf perusahan diharapkan memperlakukan pria dan wanita sejajar.
Perusahaan tidak bisa membiarkan seorang staf untuk menolak sebuah jabat tangan atas dasar jenis kelamin.
Namun, ombudsman diskriminasi mengatakan Farah mencoba menghindari mengecewakan siapapun dengan menempatkan kedua tangannya di dadana ketika memberi salam kepada pria dan wanita.
Ternyata, pengadilan buruh Swedia mendapati perusahan memberikan alasan perlakuan sederajat bagi kedua jenis kelamin, tetapi bukan pada keharusan dalam bentuk sebuah jabat tangan saja.
Penolakan Farah berjabat tangan berdasarkan agamanya dilindungi oleh Konvensi Eropa pada Hak Manusia.
Disebutkan, kebijakan perusahaan dalam memerintahkan suatu salam khusus mengganggu kaum Muslim.
Pengadilan juga setuju dengan tuntutan perusahan bahwa pendekatan Farah dalam memberi salam bisa menyebabkan sebuah masalah dalam komunikasi efektif sebagai seorang penerjemah.
Meskipun demikian, para hakim terbagi dalam kasus itu, tiga hakim mendukung tuntutan Farah dan 2 hakim menentang.
Lalu, apada pendapat Farah Alhajeh?
Usai persidangan Farah berkata kepada BBC, dia percaya itu penting untuk ‘jangan pernah menyerah’ ketika meyakinkan sesuatu adalah hak, sekalipun sebagai seorang anggota kelompok minoritas.
“Aku percaya Allah, yang sangat jarang di Swedia dan aku harus bisa menjalankan dan menerimanya sepanjang aku tidak menyakiti siapapun,” kata Farah Alhajeh.
Ia menambahkan, di negaranya, anda tidak bisa memperlakukan wanita dan pria dengan cara berbeda. Ia menghormati hal tersebut.
Itu sebabnya mengapa ia tidak berkontak fisik dengan pria dan wanita.
Ia bisa hidup dengan aturan dari agamanya dan juga saat yang sama mengikuti aturan negara tempat ia tinggal.
Ia mengeluhkan tentang perlakuan yang diterimana kepada kantor ombudsman diskriminasi.
Saat itu kantor tersebut mengatakan bahwa ‘issue yang sulit’ itu cukup penting untuk diajukan ke sebuah persidangan.
Dilansir dari BBC, pada 2016 sebuah sekolah di Swiss membebaskan dua murid lelaki Muslim dari jabat tangan dengan guru pria dan wanita.
Hal itu terjadi setelah mereka menolak menjabat tangan seorang guru wanita sehingga menyebabkan kegemparan dan memicu proses kewarganegaraan keluarga ditunda.
Pada April, seorang wanita Aljazair ditolak berkewarganegaraan Prancis setelah menolak untuk berjabat tangan dalam sebuah upacara peresmian kewarganegaraan.
Baca juga:Jose Mujica, Presiden Termiskin di Dunia yang Tak Peduli dengan Penampilan