Intisari-Online.com - Presiden AS Donald Trump yang juga pebisnis ulung tampaknya menerapkan perhitungan bisnis pula dalam menentukan strategi politik dan keputusan militer.
Prinsip buat apa senjata mahal-mahal diproduksi jika tidak digunakan hanya akan mubazir tampaknya sedang dijalankan oleh Donald Trump.
(Baca juga: Korea Utara Memang Hanya Ancam AS, Tapi Bisa Jadi Justru Korea Selatan yang Dijatuhi Bom Nuklir)
Ketika Trump memutuskan menyerang Suriah menggunakan rudal-rudal Tomahawk sesungguhnya rudal-rudal yang digunakan merupakan stok lama yang malah akan mubazir jika tidak digunakan.
Bukti bahwa rudal Tomahawk yang diluncurkan merupakan stok lama adalah daya hancur yang kurang maksimal. Hanya seperlima kekuatan AU di pangkalan udara Shayrat yang hancur.
Suriah bahkan sengaja ‘’mengejek’’ serangan itu dengan cara menerbangkan jet-jet tempur esok harinya untuk menggempur pemberontak Suriah dari pangkalan yang sama.
(Baca juga: Bus Klub Sepakbola Borussia Dortmund Dihantam Bom, Satu Pemainnya Dirawat di Rumah Sakit)
Tapi tampaknya Trump tidak menggubris ejekan bahwa sebanyak 59 rudal yang diluncurkan ke Suriah tidak berhasil secara maksimal.
Pasalnya masih banyak urusan lain yang harus dibereskan secara militer dan bisnis sekaligus seperti konflik dengan militan ISIS di Afghanistan dan Irak serta Korut yang terus saja mengancam akan menyerang AS menggunakan senjata nuklir.
Setelah merasa puas atas keberhasilan kerjanya menggempur Suriah menggunakan rudal Tomahwak, pada hari Kamis (13/4) kemarin, Trump kembali memerintahkan militer AS menggempur perkubuan ISIS di Afghanistan menggunakan bom paling mematikan yang pernah dimiliki militer AS, A GBU-43/B Massive Ordonace Air Blast Bomb (MOAB).
Bom berukuran raksasa yang juga dijuluki bom dari segala bom (mother of all bombs) yang memiliki bobot 10.300 kg ini daya ledaknya setara 11 ton TNT atau mirip dengan ledakan bom nuklir.
(Baca juga: Duh! Lubang Ledakan Bom Peninggalan Perang Vietnam Ternyata Menjadi Bencana Bagi Kawanan Gajah Liar)
Penulis | : | Agustinus Winardi |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR