Intisari-Online.com -Sejak kapan manusia Indonesia membuat perhiasannya sendiri? Pertanyaan itu mungkin terngiang di telinga kabanyakan kita, meski tak kunjung mendapatkan jawabannya.
Hingga, sekelompok tim arkoelog dari Indonesia dan Australia berhasil membongkar rahasia itu. Dalam penelitiannya mereka menyebut, manusia Indonesia sudah pandai membuat perhiasan sejak 30 tahun yang lalu alias ketika masih Zaman Es.
Jejak kecerdasan itu sendiri berhasil ditemukan di Leang Bulu Bettue, kawasan karst Maros, Sulawesi Selatan.
Mereka menemukan tulang jari kuskus yang sudah dilubangi serta tulang babirusa dan kuku elang yang diubah jadi perhiasan. Peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional, Shinatria Adhityatama, mengungkapkan bahwa temuan tersebut punya arti penting bagi sejarah nusantara.
(Baca juga:Memindai Jejak Kanibalisme pada Manusia Purba)
“Tulang hewan tersebut bisa dikatakan perhiasan tertua di nusantara,” katanya ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (5/4).
Penemuan itu menjadi pelengkap dari sejumlah temuan sebelumnya, menambah jelas kisah sejarah perkembangan seni di nusantara. Seni di nusantara sendiri - walaupun bisa diperdebatkan - bisa dirunut hingga ratusan ribu tahun lalu, ketika Homo sapiens bahkan belum ada.
Tahun 2014, Josephine CA Jordens, peneliti pada Fakultas Arkeologi di Universitas Leiden, menemukan goresan berbentuk zig zag pada cangkang kerang Pseudodon vondembuschianus trinilensis dari situs Trinil.
Ia mengatakan, goresan zigzag dibuat secara sengaja oleh Homo erectus yang hidup di situs yang terletak di Jawa Tengah tersebut.
“Ini adalah gambar purba. Ini adalah cara untuk mengekspresikan diri. Apa tujuan dari orang yang membuatnya, kita tidak tahu,” katanya kala itu. Temuan lain yang menjadi petunjuk perkembangan seni di nusantara adalah gambar cadas di Leang Timpuseng, Maros, Sulawesi Selatan.
Gambar cadas itu berusia 40 ribu tahun, dinyatakan sebagai gambar cadas tertua di dunia berdasarkan publikasi penelitian di jurnal nature pada 9 Oktober 2014.
Temuan itu mengubah pandangan arkeolog dunia tentang Indonesia. “Dengan temuan itu para ahli mulai melihat wilayah kita sebuah potensi yang sangat besar di bidang lukisan gua,” kata arkeolog Hary Truman Simanjuntak.
Shinatria mengungkapkan, penemuan liontin dari tulang hewan membuktikan bahwa manusia yang tinggal di gua-gua di Sulawesi saat itu sudah punya daya seni tinggi.
“Temuan ini menunjukkan bahwa tradisi bersolek sebagai salah satu bentuk berkesenian telah berkembang puluhan ribu tahun,” imbuh Iwan Sumantri, arkeolog Universitas Hasanuddin. “Tradisi bersolek itu malah mungkin lebih tua dari tradisi membuat lukisan gua.”
Tak hanya itu, temuan ini juga bermanfaat untuk mengurai kisah migrasi manusia dari Asia timur melewati Nusantara ke Australia.
Pentingnya melindungikawasan karst
Beberapa kalangan mengatakan, Sulawesi diduga menjadi salah satu titik yang dilewati migrasi itu. “Tapi sampai sekarang, kita belum menemukan fosil manusia. Kita baru menemukan jejak peradabannya,” kata Shinatria.
Dengan mengetahui tingkat kemajuan peradabannya, ilmuwan bisa memperkirakan kemampuan manusia saat itu sehingga bisa menguraikan bagaimana mereka bermigrasi.
(Baca juga:Gunung Berapi Membantu Banyak Spesies Bertahan Hidup di Zaman Es)
Di sisi lain, penemuan ini menunjukkan kekayaan arkeologi kawasan karst. Kekayaan itu tak hanya tersimpan di Maros tetapi bahkan juga di karst jawa, seperti Gunung Sewu. “Karst menyimpan sejarah peradaban kita,” kata Shinatria. Itu menambah satu alasan lagi tentang mengapa karst harus dilindungi. (Yunanto Wiji Utomo/Kompas.com)