Intisari-Online.com - Seperti yang pernah diberitakan di Intisari sebelumnya , sebenarnya Gunung Padang ini bukan penemuan baru. Arkeolog Belanda N.J. Krom sudah mencatat keberadaan situs megalitikum ini. Pada 1979, beberapa petani setempat “menemukan” serakan batu berpola tertutup semak di puncak Bukit Gunung Padang.
Pada 1980, penelitian yang dipimpin oleh Prof Dr. Raden Panji Soedjono, pakar prasejarah pertama Indonesia, melakukan penelitian awal. Sejak itu, proses ekskavasi dan restorasi terus berjalan sampai sekarang. Penemuan terakhir berhasil memprediksi usia konstruksi itu.
Konstruksi di puncak bukit Gunung Padang terdiri dari serakan batu yang terpola. Ada lima teras yang berundak, dihubungkan dengan struktur tangga kecil. Hasil penelitian dari tim peneliti, ternyata konstruksi di puncak Gunung Padang itu bukanlah konstruksi bangunan seluruhnya, ada konstruksi terpendam di dalam perut bukit tersebut, bahkan mencapai dasar bukit. Besarnya diperkirakan mencapai 25 hektare; jauh lebih besar daripada Borobudur!
Prediksi bentuk bangunan utuh Gunung Padang. (Ilustrasi: Anton Nugroho/Intisari)
Penampang atas dan samping Situs Gunung Padang. (Ilustrasi: Anton Nugroho/Intisari)
Sumur Cikahuripan, berada di dekat tangga naik. Air dari sumur ini dipercaya bikin suara merdu, awet muda, dan enteng jodoh. (Foto: JB Satrio Nugroho/Intisari)
Susunan tangga batu dengan tingkat kecuraman sekitar 80 derajat, jumlah anak tangga 378. (Foto: JB Satrio Nugroho/Intisari)
Pohon berusia tua yang oleh penduduk sekitar disebut pohon kimenyan. (Foto: JB Satrio Nugroho/Intisari)
Tiap terasnya dihubungkan oleh konstruksi tangga batu kecil. (Foto: JB Satrio Nugroho/Intisari)
Susunan batu yang menjadi dinding bangunan menhir di puncak Gunung Padang. (Foto: JB Satrio Nugroho/Intisari)
Nanang dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang, Banten, sekaligus koordinator juru pelihara di Gunung Padang, mengisahkan pemaknaan masyarakat sekitar tentang Gunung Padang.
Di teras I ada struktur batuan yang dinamakan Eyang Pembuka Lawang (kakek pembuka pintu). Ada dua menhir besar yang sayangnya sekarang tinggal satu yang masih berdiri tegak. Secara filosofis, sebagai simbol membuka dan mempersiapkan hati sebelum memasuki areal pemujaan tersebut.
Batu Eyang Pembuka Lawang (dipegang), dahulu ada sepasang, di kanan dan kiri (foto: Sabar Basuki/Intisari)
Kemudian ada yang namanya Gunung Masigit/Masjid. Di situ terdapat dua menhir yang miring, seperti orang bersujud. Arah sujudnya mengarah ke Gunung Gede.
Dua menhir yang mencuat yang dinamakan Masigit, atau masjid, seperti bentuk orang bersujud ke arah Gunung Gede (Foto: JB Satrio Nugroho/Intisari)
Di Teras II, ada yang disebut Mahkuta Dunia. Menurut Nanang, banyak orang yang salah persepsi. Orang bersemedi dan tirakat di tempat tersebut untuk meminta sesuatu, kekayaan misalnya. “Sebetulnya bukan seperti itu, Mahkuta Dunia itu sebenarnya simbol kehormatan dunia. Artinya, buat apa kita punya kekayaan berlimpah kalau tidak didasari dengan zakat. Karena di dekat Mahkuta Dunia itu ada batu yang dinamakan Batu Lumbung, simbol sikap saling berbagi.
Teras II Situs Gunung Padang (Foto: Sabar Basuki/Intisari)
Susunan menhir yang dinamakan Mahkuta Dunia. (Foto: JB Satrio Nugroho/Intisari)
Tumpukan batu yang disebut Batu lumbung. (Foto: JB Satrio Nugroho/Intisari)
Di Teras III, ada batu yang dinamakan Telapak Kujang. Kujang itu senjata pusaka masyarakat Sunda. Menurut Nanang, Batu itu tepat berada di sentral Situs Gunung Padang. “Dulu berdiri, cuma sekarang sudah rubuh,” jelasnya. Nanang menjelaskan, Kujang berasal dari “ku ujang”, bahasa Sunda, yang artinya “oleh kamu”. “Artinya, makna-makna yang ada di Gunung Padang itu harus dipegang teguh olehmu,”
Teras III Situs Gunung Padang. (Foto: Sabar Basuki/Intisari)
Tingkat keempat, ada Batu Gendong, simbol kekuatan. Banyak orang yang berpikir bahwa jika berhasil mengangkat Batu Gendong tersebut, maka doanya akan terkabul. “Itu pemahaman yang salah. Kenapa Batu Gendong tersebut ada di Teras IV? Artinya, silakan Anda melanjutkan perjalanan ke tingkat kelima atau tingkat yang tertinggi, asal mampu dulu mencapai tingkat-tingkat sebelumnya,” papar Nanang.
Batu Gendong, terletak di teras IV. (Foto: JB Satrio Nugroho/Intisari)
Pengunjung berusaha mengangkat batu gendong. (Foto: Sabar Basuki/Intisari)
Makanya, di tingkat kelima itu ada singgasana raja. “Warga mempercayai itu singgasana Prabu Siliwangi,” kata Nanang. Fungsi utama di Teras V itu adalah tempat istirahat, tempat berhening, karena sudah berhasil melalui tingkatan satu sampai lima.
Susunan menhir di Teras V yang disebut Singgasana Raja. (Foto: JB Satrio Nugroho/Intisari)
Nanang melanjutkan kisahnya. Mengenai orientasi situs Gunung Padang yang mengarah ke Gunung Gede, dengan makna spiritual yang dalam, Nanang menjelaskan, karena tempat itu adalah tempat peribadatan dan berkumpul manusia pada masa lalu, Gunung Gede itu mungkin semacam “kiblat” pada zaman dahulu. “Tapi kini, bagi umat muslim kiblatnya tetap Ka’abah,” lanjut Nanang.
Gunug Padang adalah kearifan mulia yang sudah seharusnya dipelihara, menjadi monumen abadi peradaban manusia Nusantara yang agung. Di tengah keheningan dan kemisteriusan Gunung Padang yang menanti dikuak, ada pelajaran hidup yang tak ternilai harganya dari bukit cahaya ini.