Bersatu dalam Perbedaan Ala 7 Perupa Jakarta di Balai Budaya

Moh Habib Asyhad

Editor

Pemaran BhinekArt
Pemaran BhinekArt

Intisari-Online.com - Perbedaan itu keniscayaan. Namun, persatuan itu kebutuhan dan bahkan kekuatan utama sebuah entitas sosial, berbangsa dan bernegara.

Keyakinan itulah yang dimiliki oleh tujuh perupa dari berbagai daerah yang tinggal di Jakarta, Rahardi Handining, Sabariman Rubianto Sinung, Dien Yodha, Barlin Srikaton, Sungging Priyanto, Biyan Subiyanto, dan Hery Gaos.

(Baca juga:Ada Pameran Lukisan Terinspirasi Indonesia di Meksiko)

Lalu, mereka mengekspresikan keyakinan dan pemikiran itu dalam pameran lukisan di Balai Budaya Jakarta dari 1 sampai 9 April 2017.

Pameran itu juga sebagai respons 7 perupa tersebut terhadap kondisi bangsa yang mulai mempermasalahkan keberagaman dan menjadikannya sebagai bahan bakar permusuhan.

Pameran itu dibuka oleh wartawa dan budayawan Bre Redana.

"Saya kaget, baru kali ini pameran lukisan diawali dengan menyanyikan Indonesia Raya. Ini luar biasa, karena seolah mengingatkan dan menggugah kembali keindonesiaan kita," katanya.

Pemaran BhinekArt (Foto: Edi Bonetski)

Bre juga menyoroti tempat pameran yang dipilih, Balai Budaya.

Menurutnya, ini tempat yang tepat karena di sini memiliki sejarah tinggi. Banyak peristiwa bersejarah besar yang lahir dari Balai Budaya.

Sementara, kurator Effix Mulyadi mengapresiasi pemikiran para perupa yang masih peduli pada persoalan kemasyarakatan dan bangsa.

Apalagi, mereka semua rata-rata juga bekerja, tapi masih memiliki waktu dan energi untuk berkarya serius di dalam dunia seni.

"Dan, karya mereka sungguh-sungguh tidak buruk," katanya.

Bagi ketujuh perupa itu, persatuan dalam perbedaan sudah mengakar dalam kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Bahkan, semua itu dirangkum secara resmi dalam semboyan sacral Bhinneka Tunggal Ika.

Pemaran BhinekArt
Namun, bangunan kokoh itu serasa goyang ketika muncul gejala primordial yang begitu kuat yang seolah menafikan perbedaan.

Gejala itu tak hanya ditangkap lewat berbagai gerakan atau keriuhan sosial, tapi juga wacana-wacana di media sosial.

Tema-tema primordial yang menafikan perbedaan semakin banyak muncul.

Padahal, kekuatan bangsa ini ditopang oleh kemampuan saling menghormati dan menghargai perbedaan untuk bersatu dalam kesatuan bangsa Indonesia.

Salah satu gejala yang direspons tujuh perupa itu adalah unjuk rasa besar-besaran di akhir 2016.

Para perupa tak ingin masuk dalam politik praktis, apalagi mendukung kelompok politik, tapi lebih memotret wacana yang muncul di permukaan yang cenderung kurang menghargai perbedaan.

Meski bangunan Bhinneka Tunggal Ika itu belum runtuh, namun gejala itu ditangkap oleh ketujuh perupa itu sebagai keprihatinan yang harus disikapi.

Setidaknya mengingatkan agar Bhinneka Tunggal Ika harus senantiasa dijaga sebagai kekuatan dan keharmonisan bangsa.

Harmoni dalam perbedaan dan berbeda dalam harmoni, walau berbeda-beda tetap satu jua.

Respons itu direalisasikan tujuh perupa itu lewat pameran lukisan di Balai Budaya Jakarta, mulai 1-9 April 2017.

Pameran ini dikuratori curator Bentara Budaya Jakarta dan wartawan senior, Effix Mulyadi. Sedangkan pembukaan akan dilakukan budayawan yang juga wartawan, Bre Redana.

(Baca juga:Inilah Pameran Seni Pertama di Dunia yang Diperuntukkan Para Anjing)

Ketujuh perupa itu seolah juga mewakili perbedaan. Mereka memiliki gaya berbeda-beda, juga cara ungkap yang berlainan. Namun, mereka memiliki keprihatinan, respons dan visi yang sama tentang persatuan.

Tema-tema lukisan tujuh perupa itu juga berbeda-beda, tapi memiliki satu semangat, yakni mencintai dan menghargai perbedaan dan persatuan.

Perbedaan cara ungkap, gaya lukisan, dan respons itu yang ditangkap curator Effix Mulyadi sebagai salah satu daya tariknya.

Dia dengan teliti menyoroti setiap lukisan dari tujuh perupa itu dalam catatan kuratorialnya.

Ada yang mencoba mendokumentasi sebuah aksi, ada pula yang melempar filosofi-filosofi serta metafora yang kesemuanya memiliki semangat menghargai perbedaan dan mencintai persatuan.

“Metafor menjadi sangat dinamis,” demikian tulis Effix Mulyadi.

Menurutnya, ini seni yang beragam, atau keragaman di dalam menafsir tema yang mereka usung maupun di dalam ungkapan artistik, atau olah seni untuk memperjuangkan kebhinnekaan, dan sejenisnya.

“Ketujuh seniman ini adalah Rahardi Handining, Sabariman Rubiyanto, Sungging Priyanto, Hery Gaos, Barlin Srikaton, Subiyanto, dan Dien Yodha, sudah tentu berbeda di dalam menangkap dan menafsir mengungkapnya."

"Hajatan ini juga merupakan ujud keterlibatan mereka untuk ikut mendorong tumbuhnya pengertian dan kesadaran akan hakikat kemajemukan di antara warga,” jelas Effix Mulyadi.

Artikel Terkait