Intisari-Online.com - Yuni, relawan yang mendampingi bocah penderita tumor mata, Piki Ananda heran dengan kebijakan manajemen Batik Air yang tidak memperbolehkan mereka untuk menaiki maskapai penerbangan tersebut.
Yuni, Piki dan ibunya pada Jumat (10/8/2018), tidak diizinkan oleh manajemen Batik Air menaiki pesawat tersebut dari Bandara Soekarno-Hatta Tangerang menuju Bandara Kualanamu, Sumatera Utara.
Alasan yang disampaikan, kondisi Piki dianggap menganggu kenyamanan penumpang lainnya.
Padahal, kata Yuni, saat berangkat dari Medan ke Jakarta, ketiganya menggunakan maskapai penerbangan Lion Air yang merupakan induk perusahaan dari Batik Air.
Kondisi Piki saat di Medan juga sama seperti di Jakarta. Namun, kebijakan yang diambil Batik Air berbeda dan dinilai sangat mengecewakan.
"Tapi saya heran, kenapa kami dari Medan ke Jakarta itu bisa terbang. Itu naik Lion Air. Saya juga di sana minta (rekomendasi) dari dokter karantina dan katanya laik terbang," ujar Yuni saat ditemui Kompas.com di Jakarta Pusat, Jumat malam.
Yuni mengatakan, prosedur yang dilalui di Medan sama seperti di Jakarta. Piki terlebih dahulu diperiksa oleh dokter yang berada di unit kesehatan bandara.
Dokter kemudian memberikan rekomendasi medis bahwa Piki laik terbang. Tanpa butuh waktu lama, ketiganya terbang ke Jakarta pada 30 Juli.
Baca juga: Ingat, Jangan Tidur Terlalu Lama Jika Tak Ingin Meninggal Lebih Cepat!
Namun, kata Yuni, perlakuan berbeda didapatkan saat menaiki penerbangan Batik Air. Meski Piki telah mengantongi rekomendasi medis dari dokter yang memeriksanya di bandara, anak usaha Lion Air ini tetap tidak mengizinkan Piki untuk terbang kembali ke kampung halamannya.
Alasannya karena mempertimbangkan kenyamanan para penumpang pesawat. Tumor mata yang diderita Piki dianggap mengeluarkan bau menyengat.
"Makanya saya pertanyakan kenapa di sini sudah ada surat karantina (laik terbang), kami enggak boleh terbang? Kami ada buktinya kenapa kami bisa kemari (ke Jakarta)," ujar Yuni.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR