Intisari-Online.com – Suatu hari di musim panas yang cerah dan sejuk, Buddha berjalan-jalan di sepanjang pinggir hutan, untuk menikmati keindahan bumi. Di persimpangan jalan, ia melihat seorang pria hanyut dalam kesedihan dan berdoa dengan sungguh-sungguh.
(Baca juga:Ada Petunjuk Baru dari Kelahiran Sang Buddha)
Ketika pria itu melihat Sang Buddha, ia jatuh berlutut. Sambil menangis, ia berkata, “Sang Buddha, hidup memang pahit dan menyakitkan! Saya penah menjadi seorang pria dengan banyak kekayaan, hidup dengan kemudahan, dan penuh kebahagiaan.
Dengan berbagai trik dan penipuan, orang yang saya percaya dan saya cintai mengambil segala sesuatu dari saya. Saya sekarang adalah manusia celaka dengan tidak ada yang dapat saya tuju. Berapa kali lebih saya harus terlahir di dunia ini dengan mengalami penderitaan sebelum saya dapat mengalami keseimbangan?”
Sambil menunjuk ke sebuah pohon mangga di pinggir jalan, Sang Buddha berkata, “Apakah engkau melihat pohon mangga itu? Engkau harus dilahirkan kembali sebanyak jumlah mangga di pohon itu sebelum engkau merasakan kebahagiaan, bebas dari penderitaan dunia ini.”
Melihat terdapat setidaknya puluhan mangga tergantung di pohon mangga itu, pria itu tersentak, “Tapi, Tuan! Saya telah hidup dengan benar sesuai dengan ajaran! Mengapa saya harus menderita lebih banyak lagi?”
Sang Buddha mendesah. “Itulah cara yang harus dilakukan.” Dan ia pun melanjutkan perjalanannya.
Ia melihat pria lain yang sedang berdoa juga di pinggir jalan, yang juga jatuh berlutut di hadapannya dan menangis, “Sang Buddha, hidup memang pahit dan menyakitkan. Saya telah kehilangan semua yang saya cintai untuk raja kematian. Saya sekarang sedih dan kesepian. Hidup ini penuh dengan penderitaan. Berapa kali lebih saya harus terlahir ke dunia penderitaan ini sebelum aku tahu mengalami kebahagiaan?”
Sang Buddha menunjuk rumpunan bunga liar di sepanjang jalan dan berkata, “Sebelum Engkau tahu kebahagiaan, pembebasan dari penderitaan dunia ini, Engkau harus dilahirkan kembali sebanyak jumlah bunga dalam rumpun itu.”
Melihat begitu banyak ratusan bunga di jalan itu, pria itu berteriak, “Tapi, Tuan! Saya telah melakukan banyak perbuatan baik dan telah mengikuti ajaranmu dengan hati. Mengapa saya harus bertahan dengan lebih banyak penderitaan?”
(Baca juga:Perjuangan yang Dilandasi Kesabaran akan Berbuah Manis dan Indah)
Sang Buddha mendesah, “Itulah bagaimana seharusnya.” Dan ia melanjutkan perjalanannya.
Hingga ketika ia menemukan sebuah pohon asam, seorang pria lain jatuh berlutut dan menangis di hadapannya, “Oh, Tuan, hidupku penuh dengan penderitaan. Setiap hari saya bekerja keras seperti budah di bawah terik matahari. Pada malam hari harus tidur di bawah tumpukan rumput yang dingin. Hidup tidaklah berarti, selain rasa lapar, haus, dan kesepian! Berapa kali saya harus terlahir ke dunia ini dengan penderitaan sebelum saya mengalami kebahagiaan?”
Sang Buddha mendongak ke pohon asam, setiap cabang memiliki banyak tangkai dan setiap tangkai memiliki puluhan daun. Sang Buddha berkata, “Lihatlah pohon asam itu. Sebelum Engkau mengalami kebahagiaan, bebas dari penderitaan di dunia ini, Engkau harus dilahirkan kembali sebanyak jumlah daun di pohon asam itu.”
Ketika pria itu menatap pohon asam dan ribuan daun, matanya berkaca-kaca penuh syukur dan sukacita. “Betapa penuh belas kasih!” katanya sambil bersujud ke tanah di bawah kaki Sang Buddha.
Demikianlah. Hingga hari ini biji asam adalah simbol kesetiaan dan kesabaran.