Intisari-Online.com -Tujuh hari sudah Ibu Patmi (meninggal di usia 48 tahun) meninggalkan kita semua. Meski demikian, sosoknya dianggap sebagai representasi paling tepat untuk mewakili semangat perjuangan petani Kendeng dalam mempertahankan tanahnya.
Pada Minggu (26/3) sore, tepat diadakan peringatan tujuh hari kepergiannya, digelar bermacam doa dan pembuatan monumen Ibu Patmi.
Monumen diletakkan di lahan di sebelah rumahnya seluas kurang lebih 10 meter persegi. Di bawah pohon jati, monumen dibangun ditengahi lingkaran berdiameter sekitar 3 meter.
(Tanggapan BMKG Terkait Temuan Aktifnya Sesar Kendeng yang dapat Menjadi Sumber Gempa Jawa Timur)
Di tanah yang dijadikan monumen milik almarhum, persis di sebelah monumen itu, akan didirikan tempat ibadah atau mushola. “Tempat ini berstatus hak milik atas nama almarhum. Tanah ini sudah diwakafkan untuk kemaslahan publik,” ujar Harno, koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Pati, Minggu sore.
Peletakan monumen dihadiri sejumlah kalangan, terutama warga Desa Larangan, serta warga yang menolak pabrik semen. Di sekeliling kediaman mendiang Ibu Patmi, ucapan bela sungkawa datang dari para tokoh, terutama dari kalangan aktivis, anggota DPR.
Mereka mengirim karangan bunga yang diletakkan di depan rumah mendiang. Pihak keluarga Patmi juga menggelar peletakan batu pertama pembangunan monumen. Peletakan batu pertama dilakukan suaminya Rosyad dan anak-anaknya.
(Kontroversi Izin Pabrik Semen, Benarkah Gubernur Jawa Tengah Berani Lawan Perintah Presiden Jokowi?)
“Perjuangan ini meneguhkan semangat kami bahwa kami harus terus berjuang. Saya ikhlas,” ujar Rosyad.
Sebelum dan sesuai peletakan batu pertama pendirian museum, lagu “Ibu Bumi” terus disuarakan warga di lokasi tersebut.
Desa Larangan tepat berada di Pegunungan Kendeng utara. Rencananya, desa ini adalah salah satu dari empat desa yang akan menjadi lokasi penambangan pabrik semen di Pati.