HOK Tanzil: Bertigabelas Naik Gunung Tengger

Verena Gabriella

Penulis

HOK Tanzil: Bertigabelas Naik Gunung Tengger
HOK Tanzil: Bertigabelas Naik Gunung Tengger

Intisari-Online.com -Inilah kisah perjalanan H.O.K. Tanzil bersama keluarganya ke Gunung Tengger yang dia tulis di Intisari edisi Desember 1977 dengan judul asli "Bertigabelas Naik Gunung Tengger".--

Hari Raya Idul Fitri 1397 H, 15 September 1977, kantor-kantor dan sekolah tutup beberapa hari, sehingga kami sekeluarga terdiri dari 3 pasang suami-isteri berikut 7 anak-anak yang usianya berkisar antara 5-12 tahun dapat mengikuti tur Bromo.Tadinya tiap keluarga berniat pergi dengan kendaraan masing-masing. Namun mengingat perjalanan ke Gunung Bromo ini berat, sehingga kemungkinan kerusakan kendaraan makin banyak, kalau makin banyak mobil dipakai dan karena mengemudi semalam suntuk memerlukan lebih banyak pengemudi yang berpengalaman; maka diputuskan untuk memakai VW Combi saja.

Perjalanan dimulai pada hari itu jam 19.00, mengangkut 13 jiwa, koper-koper pakaian dan tidak ketinggalan alat-alat masak. Setelah membeli bensin di Semarang pukul 4 pagi, perjalanan dilanjutkan melalui Utara: Demak, Kudus, Pati, Rembang dan menelusuri jalanan pinggir pantai melalui Lamongan dan Gresik pukul 10 kami tiba di Surabaya. Hari itu benar-benar tidak ada restoran yang buka. Untung juga masih diketemukan sebuah warung sate.

Karena hari libur panjang, penginapan di daerah pegunungan umumnya sudah penuh. Di Lawang kami mencoba menginap di mess Depkes Murnajati. Kebetulan malam akan lowong sebuah bungalow. Saya terperanjat juga sewaktu mendengar bahwa biayanya untuk semalam Rp.650,- untuk sebuah bungalow, bukan untuk satu orang!

Bungalow terdiri atas 2 buah kamar dengan masing-masing 3 tempat tidur; sebuah kamar makan yang cukup luas, dapur, kamar mandi dan WC. Benar benar suatu yang tak terduga! Esok harinya kami berangkat pukul 8 pagi, keliling Batu, Punten dan menuju Tosari lewat Puspo. Dua belas kilometer sebelum Tosari jalanan tanpa aspal yang terdiri dari batu-batu yang disusun, suatu tanda dalam pembetulan.

Kami tiba di Tosari pukul 12, di sebuah warung sederhana sambil makan dicari keterangan tentang kemungkinan naik gunung Penanjaan dengan mobil. Sesuai dengan keterangan, kami turun ke desa Wonokitri. Desa ini sangat menyolok dalam hal kerapian dan pembangunan. Jalanan diaspal, rumah-rumah rapi, semua seragam bercat biru, dirawat baik disertai papan-nama-nama pemilik, seragam pula. Balai desa tampak mewah untuk sebuah desa.