Intisari-Online.com -Gareth Neil dalam laporan penelitiannya kepada Grant Tronton yang berjudul The Psychology of Debt, mengatakan, uang berputar layaknya candu. Ia tidak hanya alat untuk mendapatkan barang-barang, tapi lebih dari itu, uang adalah alat untuk mencapai kepuasan diri dan alat legitimasi sosial.
Lalu bagaimana jika seseorang tidak mempunyai uang? Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan “kepuasaan sosial” tersebut adalah dengan berhutang. Apakah kita boleh berutang? Boleh-boleh saja asal tahu rambu-rambunya.
(Segera Laporkan Jika Penagih Utang Tidak Mengikuti Aturan Ini!)
“Seorang perencana keuangan tidak melarang seseorang untuk berutang asal mereka tahu cara mengaturnya supaya tidak merugi ke depannya. Selain harus mempertimbangkan mana kebutuhan dan mana keinginan, orang yang memutuskan untu berutang tentu saja harus mempertimbangkan berapa jumlah asetnya, juga seberapa besar tanggungan cicilan yang harus dibayar,” kata Ligwina Hananto, perencana keuangan di QM Financial, Jakarta, pada pertengahan Desember 2013.
Yang perlu diperhatikan oleh para pengutang adalah bagaimana ia bisa mengontrol keuangannya, serta hasrat dirinya agar tidak terjadi masalah dengan hutangnya kelak di kemudian hari.
Jadilah tipe pemenang
Ligwina mengklasifikasikan ada tiga tipe pengutang menurut kemampuan finansialnya. Yang pertama adalah yang berutang karena memang tidak punya uang, tipe yang kedua adalah karena barang yang dibeli termasuk kategori barang besar dan sifatnya jangka panjang. Dua tipe pertama ini, menurut Ligwina menjadi yang paling banyak dijumpai dan lumrah terjadi.
Yang menghawatirkan adalah tipe ketiga, tipe pemotong kompas. “Orang seperti ini yang kebanyakan akan mengalami masalah dengan keuangannya. Tipe pemotong kompas adalah orang yang menginginkan sesuatu dengan jalan cepat, meski utang dan kurang mempertimbangkan apakah dia bisa melunasinya nanti,” ujar Ligwina mewanti-wanti.
Sedikit berbeda dengan klasifikasi yang dibuat oleh Garret Sutton dalam bukunya The ABC’s of Getting out of Debt – Mengubah utang macet menjadi utang lancar, 2006. Bagi Sutton, psikologi pengutang ada empat jenis: pengharap, pembuang, pengingin, dan pemenang.
Sejatinya Sutton mengakui, tiga tipe pengutang pertama sering terjadi tumpang tindih dalam penjabaran, tapi jika dilihat lebih seksama ada beberapa perbedaan yang menjelaskan ketiganya.
Pengharap adalah mereka yang terlalu optimis dengan kredit. Mereka memiliki persepsi yang jelas bahwa mereka layak mendapatkan barang-barang bagus asal tidak tertinggal dengan tetangganya yang sudah punya terlebih dahulu. Kebanyakan tipe ini lebih fokus pada pembayaran bulanan, bukan pada total keseluruhan, apalagi bunganya yang mencekik.
Biasanya tipe orang seperti ini mempunyai pandangan utopis bahwa tahun berikutnya akan lebih cerah, termasuk berharap pekerjaan yang lebih cerah.
Pembuang membelanjakan uang sebagai sebuah pelarian. Oleh karena penghargaan diri yang rendah, mereka menggunakan uang untuk membeli barang-barang untuk membuat diri mereka merasa lebih baik, bebas stres, dan lepas dari persoalan-persoalan mereka.
Belum lagi, gempuran iklan yang besar-besaran akan semakin memperparah kondisi ini dengan memanipulasi perilaku. Mobil, tv baru, ponsel baru, kadang bisa menghapus perasaan yang hampa untuk sesaat—sementara tagihan terus menguntit di belakang.
Sialnya, tipe pembuang akan terus membelanjakan uangnya karena perasaan hampa itu munculnya setiap saat. Industri kartu kredit semakin memberikan dukungan orang untuk membeli sekarang dan membayar kemudian hari. Sutton menyebut, orang-orang seperti ini akan terkurung dalam perputaran utang. perputaran lingkaran setan.
Pengingin. Salah satu studi menarik dalam riwayat psikologi adalah Stanford Marshmallow Study. Studi yang dimulai sejak 1960-an oleh Walter Mishcel, psikolog Stanford University, ini mencoba untuk mempelajari pentingnya disiplin diri untuk sukses di masa depan.
Objek penelitian itu terdiri atas anak-anak berusia empat tahun yang tengah kelaparan. Mereka diberi pilihan untuk mendapatkan sebuah marshmallow (manisan putih nan empuk) waktu itu juga, tapi jika bersedia menunggu selama limabelas menit atau duapuluh, sementara peneliti pergi menggambil manisan yang lain, anak-anak itu boleh mendapatkan dua manisan.
Hasilnya, sepertiga anak-anak segera memakan satu buah manisan. Beberapa yang lain menunggu, tapi tak berapa lama kemudian memakan manisan sebelum peneliti kembali. Sepertiga terakhir menunggu sampai peneliti datang membawa dua manisa buat mereka.
(Ingin Berutang untuk Berbisnis, Apa Saja Pertimbangannya?)
Belakangan, setelah anak-anak itu menamatkan SMA, studi lanjut memberikan informasi penting; pemakan manisan yang tidak sabaran menjadi kurang percaya diri dan tidak bisa menunda “kesenangan segera” untuk mencapai tujuan jangka panjang. Sementara yang menunggu, menjadi lebih produktif dan positif dalam hidup, dengan mampu menunda kesenangan segara dalam mengejar tujuan. Penghasilan mereka juga lebih tinggi.
Para pengingin cenderung menginginkan segala sesuatu saat itu juga, selaras dengan klasifikasi yang diberikan oleh Ligwina pada tipe pemotong kompas. Perihal membayar, semuanya akan dipikirkan belakangan dan tanpa disadari menjadi masalah besar.
Yang paling beruntung menurut Sutton adalah jenis yang keempat yaitu pemenang. Kategori keempat ini bisa jadi semacam antidot bagi tiga kategori sebelumnya. Pemenang cenderung mengetahui hal-hal yang akan dilakukannya, termasuk menanam kredit.
Sebelum memutuskan untuk berutang, orang pemenang akan mempelajari detail-detail yang akan dihadapinya ke depan. Misalnya, bank akan memberinya pinjaman jika sekuritasnya jelas atau jaminan lain yang bisa digunakan untuk menutup cicilannya. Atau bank akan kehilangan uangnya dengan meminjamkannya kepada orang-orang yang tidak pernah membayarkannya kembali. Begitu juga dengan orang, terlalu banyak utang macet akan menimbulkan masalah.
Awas depresi
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dr John Gathergood dari University of Nottingham dalam rentang waktu 1991-2008 menyebutkan, orang yang terbebani oleh utang tiga kali lebih rentan mengalami gangguan kejiwaan serius sehingga membutuhkan intervensi seorang psikolog.
Seperti dilansir oleh Dailymail pada September 2012, gangguan itu meliputi rasa gelisah yang tarafnya ringan sampai gangguan yang lebih parah; stress, susah konsentrasi, dan sulit mengambil kebijakan dengan cermat dan tegas.
Penelitian yang dimuat di Economic Journal juga menjelaskan adanya social norm effect. Pandangan negatif orang-orang di sekitar tentang kebiasaan utang bisa juga bisa membuat orang yang banyak utang makin tertekan dan merasa bersalah atas tunggakan-tunggakan.
Menurut Kasandra Putranto, S.Psi., psikolog dari Ikatan Psikologi Klinis, Himpunan Psikologi Indonesia (IPK-HIMPSI), depresi tersebut bisa jadi disebabkan oleh kurangnya kemampuan manajemen keuangan yang diiringi ketidakmampuan mengendalikan dorongan impuls dari dalam diri.
(Jangan Berutang Demi Senang-senang, Salah Satu Tips Tetep Eksis Tanpa Kuras Kantong)
“Jika tidak segera dikendalikan, bisa-bisa ini akan menjurus ke tindakan kriminal sampai upaya penghilangan nyawa,” ujar Kasandra.
Sering juga, seorang pengutang menunjukkan sikap pura-pura. Misalnya, si A mempunyai hutang hingga ratusan juta rupiah, tapi dia masih terlihat santai dan seolah tanpa beban. Kasandra melihat fenomena ini dengan kacamata psikodinamika terutama dalam prinsip pengurangan tekanan atau tension reduction principle.
Ketika tidak bahagia, saat itu manusia mempunyai kebutuhan untuk mengurangi tekanan yang ada di dalam dirinya.
Sejatinya, berutang adalah salah satu upaya memaksimalkan kemampuan manajemen finansial. Itu artinya, jika si pengutang mampu mengatur kondisi keuangannya, serta mampu mengendalikan impuls dalam dirinya, terutama untuk membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan, maka dia akan selamat; utang menjadi ladang baginya untuk mengembangkan kekayaannya. Menang tak ada larangan untuk berutang.