Benarkah Utang Indonesia yang Mencapai Rp3.549 Triliun Masih Dalam Batas Normal?

Ade Sulaeman

Editor

Sebelum Berhutang, Perhatikan Lima Hal Ini
Sebelum Berhutang, Perhatikan Lima Hal Ini

Intisari-Online.com - Utang pemerintah sampai dengan Januari 2017 adalah sebesar Rp3.549,17 triliun, yang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2.815,71 triliun dan pinjaman sebesar Rp733,46 triliun.

(Sebelum Sarapan, Baiknya Mengonsumsi Minuman Ini Supaya Racun dalam Tubuh Kita Hilang)

Dibandingkan dengan bulan sebelumnya, utang Pemerintah Pusat sampai dengan Januari 2017 ini meningkat sebesar 2,37%.

Penambahan utang neto sampai dengan bulan Januari 2017 adalah sebesar Rp82,21 triliun yang berasal dari kenaikan SBN sebesar Rp81,88 triliun dan bertambahnya pinjaman sebesar Rp330 miliar. Meski naik, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih dalam batas sehat, yaitu sekitar 28%.

Bahkan bila digabungkan dengan utang swasta, maka total utang Indonesia berada pada rasio 35% terhadap PDB.

(Inilah 3 Negara Pemberi Utang Terbesar ke Indonesia)

Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistyaningsih mengatakan, melihat dari rasio utang pemerintah yang masih di bawah 30%, maka utang tersebut masih aman. Namun demikian, menurut Lana amannya rasio utang tidak bisa dilihat semata-mata seperti itu.

“Kita tidak bisa semata-mata melihat begitu saja, di antaranya ada defisit primer, itu ada di dalam APBN yang hasilnya negatif dan terus membesar,” kata Lana, Jumat (24/2), seperti dikutip dari kontan.co.id.

Hal ini menurut Lana artinya untuk bayar bunga utang, pemerintah harus berutang lagi, “Misalnya seseorang punya cicilan, cicilan itu dibayar dari utang di bank lain. Itu yang bahaya,” ujarnya.

Lana mengatakan, dengan negatifnya defisit primer itu, pemerintah sudah tidak bisalagi bayar bunga dengan uang pendapatan dalam negeri yang terdiri dari pendapatan perpajakan.

Untuk mengamankan defisit primer ini, menurut Lana saat ini pemerintah sedang mengalami dilema karena pemerintah tidak ada sumber income yang bisa diandalkan. Pasalnya bila menggeber perpajakan masih susah lantaran reformasi perpajakan tidak berjalan baik.

“Seharusnya penerimaan pajak, supaya bisa bayar bunga utang. Tentunya harapannya ada niat dari pemerintah untuk terus mengurangi defisit primer ini dari minus ke positif lagi,” jelasnya

Bila positif artinya pemerintah punya sisa dari income untuk membayar bunga utang. Nah, alternatif apabila income tidak bisa diandalkan, maka pengeluarannya harus realistis.

Dengan demikian secara menyeluruh utang pemerintah masih bisa dianggap aman. Namun apabula utang digunakan untuk bayar bunga, dalam pengelolaan utang hal itu harus diperhatikan.

“Utangnya bisa dikatakan kurang sehat. Utang yang sehat itu dipake buat bayar cicilan,” ucap Lana.

Data Kementerian Keuangan menyebutkan, keseimbangan primer sebenarnya sempat mengalami surplus pada 2010, mencapai Rp41,5 triliun. Pada 2011, keseimbangan primer masih mengalami surplus, tetapi nilainya berkurang drastis menjadi Rp8,8 triliun. Pada 2012, barulah pemerintah merasakan defisit keseimbangan primer mencapai Rp52,7 triliun.

Defisit ini bertambah menjadi Rp98,6 triliun pada 2013. Memasuki 2014, Pemerintah sempat menurunkan defisit di angka Rp93,2 triliun. Sayang, nilai ini kembali meningkat pada 2015 yang menyentuh Rp142,4 triliun.

Memasuki 2016, pemerintah kembali harus mengalami defisit keseimbangan primer mencapai Rp105,5 triliun dalam APBNP 2016. Nilai defisit ini masih akan berlangsung pada 2017 dengan besaran Rp111,4 triliun.

Sehat tapi harus waspada

Sementara Ekonom SKHA Institute Eric Sugandi berpendapat bahwa walau dilihat rasio utang pemerintah terhadap GDP nominal masih aman, namun pemerintah harus diwaspadai tren rasio yang meningkat.

Sebenarnya, menurut dia, tidak ada batasan yang pasti mengenai rasio aman utang publik terhadap nominal GDP. Mengingat beberapa negara seperti Jepang rasionya di atas 200% dan US di atas 100%.

Namun perbedaannya, utang pemerintah Jepang mayoritas kepada masyarakat Jepang sendiri sehingga relatif aman terhadap tekanan eksternal, berbeda dengan utang pemerintah Indonesia yang share utang luar negerinya masih signifikan.

“Tapi rasio yang lebih besar dari 100% mengindikasikan bahwa aktivitas ekonomi negara tidak cukup untuk digunakan membayar seluruh utang sekaligus pada suatu waktu,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, ada beberapa cara untuk turunkan rasio utang pemerintah terhadap GDP nominal, yaitu pertumbuhan ekonominya mesti lebih tinggi sehingga GDP nominalnya bisa besar

“Cara kedua adalah dengan kurangi utang dan percepat pembayaran utang. Dan cara ketiga adalah kombinasi dua cara tersebut,” kata Eric.

Pada tahun 2017 ini, Eric memproyeksi rasio utang pemerintah terhadap nominal GDP di sekitar 30%. Tren naiknya rasio ini karena pemerintah berupaya mengejar target pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di antaranya dengan bangun infrastruktur yang butuh pembiayaan jangka panjang

“Sementara pembiayaan jangka pendek kebanyakan untuk pembiayaan defisit APBN lewat penerbitan SBN,” ujarnya.

Indikator risiko utang pada bulan Januari 2017 menunjukkan bahwa rasio utang dengan tingkat bunga mengambang (variable rate) sebesar 12% dari total utang, sedangkan dalam hal risiko tingkat nilai tukar, rasio utang dalam mata uang asing terhadap total utang adalah sebesar 42%. Average Time to Maturity (ATM) sebesar 9 tahun, sedangkan utang jatuh tempo dalam 5 tahun sebesar 68,7% dari outstanding.

Terkait kewajiban kontinjensi pemerintah, hingga kuartal IV-2016 (per 31 Desember 2016) total outstanding/eksposur penjaminan adalah sebesar Rp81,7 triliun.

Artikel Terkait