Intisari-Online.com -Tahun 1996, Thordis Elva masih seorang gadis Islandia yang lugu ketika jatuh cinta kepada seorang pemuda Australia, Tom Stranger. Mereka pertama bertemu ketika Stranger sekolah di Reykjavik. Sekitar sebulan setelah jadian, mereka berencana pergi ke Christmas Ball yang diadakan sekolah.
Malam itu, Stranger memperkosa Elva yang masih 16 tahun. Sebelumnya mereka sempat mengonsumsi jamur untuk pertama kalinya. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk Elva menyadari bahwa itu adalah tindakan pemerkosaan, pun begitu dengan Stranger.
(Miris, 75 Persen Perempuan Liberia Merupakan Korban Pemerkosaan)
Beberapa dekade kemudian, tepatnya Oktober 2016, Elva dan Stranger berbagi panggung dalam acara TED Talk. Di sana mereka berbagi cerita bagaimana bangkit dari kejadian di luar kehendak mereka itu.
“Ketika kamu benar-benar tabah menghadapi kesalahanmu, saya pikir hal mengejutkan akan terjadi,” kata Stranger. “Itu yang saya sebut sebagai rasa kepemilikan yang paradoks. Saya pikir saya akan terbebani oleh tanggung jawab. Saya pikir rasa kemanusiaan saya akan hangus. Sebaliknya, saya dituntut untuk menghadapi apa yang saya lakukan, dan menemukan bahwa itu sama sekali tidak merenggut harga diri saya.”
Menurut Elva, setelah pemerkosaan itu ia sempat menyalahkan dirinya sendiri dan merasa tak ada guna mengatasinya. Kembali ke Australia, Stranger mencoba menafikan kejadian itu dan meyakinkan dirinya itu bukan pemerkosaan.
Sembilan tahun setelah kejadian itu, Elva menulis surat kepada Stranger. Dan itu berjalan hingga delapan tahun. Dari situ mereka kemudian mencoba menbedah apa yang sebenarnya terjadi malam itu untuk kemudian bersama-sama saling menguatkan dan bangkit dari trauma itu.
Tak sampai 16 tahun kemudian, keduanya memutuskan bertemu, wajah bertemu wajah, di tempat yang dianggap “netral”: Cape Town, Afrika Selatan. Selama perjalanan yang memakan waktu seminggu, keduanya saling berbincang panjang secara terbuka dan jujur tentang kehidupan mereka setelah malam itu dan dampak pemerkosaan—khususnya bagi Elva.
“Saya pernah membaca, entah di mana, bahwa kamu harus mencoba dan menjadi orang yang kamu butuhkan ketika kamu muda,” jelas Elva, dilansir PEOPLE. “Saya harus menyadari bahwa rasa malu itu bukan milikku, bahwa ada harapan setelah pemerkosaan, bahwa kau dapat menemukan kebahagiaan, seperti saya bersama suami saat ini.”
Itulah sebabnya Elva mulai menulis tak lama setelah kembali dari Cape Town. Dari situ sebuah buku yang ia tulis bersama Tom Stranger lahir. Mereka berharap buku itu berguna baik untuk pelaku maupun korban pemerkosaan. Buku itu berjudul South of Forgiveness dan akan diluncurkan pada Maret tahun ini.
“Jangan meremehkan kekuatan kata-kata,” ujar Stranger. Memperkosa, aku Stranger, membuatnya menjadi sosok yang berbeda. Ia juga menegaskan bahwa sudah saatnya dampak pemerkosaan juga harus menjadi beban si pemerkosa—bukan si korban saja.