Surat Imajiner dari Bocah Bernama RI

Lily Wibisono

Editor

Surat Imajiner dari Bocah Bernama RI
Surat Imajiner dari Bocah Bernama RI

Yth Bapak Hakim Daming Sanusi,

Saya dengar Bapak kemarin menangis di televisi. Kenapa Bapak menangis? Orang menangis biasanya karena sedih ‘kan? Kalau kita berteman, barangkali kita bisa saling cerita. Saya juga sering menangis belakangan ini. Sejak kejadian itu. Kejadian yang membuat saya malu dan kesakitan. Apa begitu dunia orang dewasa? Mau cerita kepada Ibu, saya malu. Kepada Bapak, saya takut. Jadi diam saja. Sampai Ibu suka menegur kenapa saya suka melamun. Saya punya enam kakak, tapi tiga sudah keluar rumah. Mungkin kapan-kapan saya akan cerita kepada kakak nomor 3 atau 4.

Rumah kami di lapak pemulung di Rawa Bebek, Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur. Kami mengontrak rumah petak. Bapak pemulung barang-barang bekas. Saya anak bungsu. Tanggal 21 April adalah hari ultah saya. Seperti Ibu RA Kartini. Pahlawan perempuan itu. Ia orang hebat. Siapa tahu saya akan sehebat beliau.

Ah, seandainya saya bisa mengundang teman-teman pada ulang tahun ke-11 nanti. Seperti anak-anak gedongan di televisi. Sst, saya malah sudah menulis surat undangannya. Saya hias dengan spidol warna-warni. Walaupun kemungkinan tidak akan ada pesta. Tapi siapa tahu Bapak dapat rezeki besar sekitar hari ulang tahun saya. Hmm …, hanya membayangkan saja saya sudah senang.

Belakangan kepala saya sering pening. Badan saya panas menggigil. Kalau tidak sedang sakit kepala, saya suka melamun. Pandangan saya nanar jauh. Kenangan itu datang lagi dan lagi. Takut. Sakit. Kini bila duduk, terasa sakit; apalagi buang air kecil. Saya sampai ngeri ke belakang. Kalau terbayang wajah orang itu, hii, saya sembunyikan kepala di balik selimut. Dia mengancam saya, “Awas, kalau berani bilang-bilang … .“

Selama sakit saya lebih banyak berbaring. Tapi saya senang bisa membayangkan jalan-jalan ke Ragunan. Atau berbelanja di minimarket dekat rumah. Senangnya. “Iya Dik, nanti yah, kalau kamu sudah sembuh,” begitu kata kakak ke-4 sambil memijit-mijit kaki saya.

Yth Pak Hakim, tolong lindungi teman-teman saya, jangan sampai mengalami nasib seperti saya. Sebab sungguh, rasanya sama sekali jauh dari nikmat.RI, bocah berusia 10 tahun, masuk ke ICU RS Persahabatan pada tangal 29 Desember 2012 dalam kondisi kejang dan suhu tubuh meningkat. Ditemukan luka tak tertangani pada kemaluannya. Ia dinyatakan meninggal karena radang otak pada 6 Januari 2013 setelah koma selama seminggu. Jasadnya kemudian diautopsi di RS Cipto Mangunkusumo. Hasil visum sementara mengonfirmasi dugaan tindak kejahatan seksual. Di dalam tubuhnya terdapat virus yang ditularkan melalui hubungan seksual.

Calon hakim agung Muhammad Daming Sanusi, Senin 14/01/2013 membuat berita ketika berlangsung fit and proper test hakim agung di Komisi III DPR. Katanya, hukuman mati tidak layak diberlakukan bagi pelaku pemerkosaan. Alasannya, "Yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati. Jadi, harus pikir-pikir terhadap hukuman mati."

Penjelasannya soal ini mengundang tawa sejumlah anggota Komisi III. Daming berdalih bahwa pernyataannya itu hanya untuk mencairkan suasana. Pernyataan tersebut mengundang respons keras di masyarakat. Pada saat tulisan ini diturunkan, beberapa pihak di Komisi III sudah memastikan bahwa partainya tidak akan memilih Daming sebagai Hakim Agung karena dinilai tidak layak.

Sementara itu, uang sejumlah Rp 35 juta sumbangan dari para dermawan, termasuk dari Jokowi Gubernur DKI, diberitakan dirampok oleh seorang wanita yang mengaku polisi. Penderitaan keluarga RI sepertinya tak kunjung berakhir. (Dari berbagai sumber)