Intisari-Online.com - Secara pengertian, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan atas harapan hidup, literasi, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. Pertama dikembangkan oleh Amartya Sen, peraih Hadiah Nobel yang juga seorang ekonom dan filsuf.
IPM digunakan untuk mengklasifikasi apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang ataupun negara terbelakang. Serta untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Pada 1990 indeks ini juga menjadi pendekatan UNDP (Badan Pembangunan PBB) dalam mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia.
Walaupun tidak dapat mengukur semua dimensi dari pembangunan, IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam tiga dimensi pokok kemampuan dasar pembangunan manusia yakni (1) hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran, (2) pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio, (3) standar kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli.
Metode baru era 2010-2015
Menurut hasil Laporan Indeks Pembangunan Manusia 2015 yang dikeluarkan UNDP, Indonesia yang masuk sebagai negara berkembang terus mengalami kemajuan.
Sejak 2015—setelah periode transisi lima tahun lamanya mulai 2010, IPM juga mulai dengan metode baru. Selain merupakan kesepakatan global, metode baru ini diharapkan dapat memotret perkembangan pembangunan manusia dengan lebih tepat. Transformasi ini ditandai dengan penerapan metode baru yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi masa kini. Dua dari empat indikatornya diganti untuk merepresentasikan secara tepat hal-hal yang dihadapi saat ini.
Dua indikator tersebut ialah Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita. HLS, yang termasuk ke dalam dimensi pendidikan, menggantikan Angka Melek Huruf (AMH). Sementara PNB per kapita menggantikan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebagai indikator tunggal dalam dimensi standar hidup.
Dalam dimensi standar hidup, PNB per kapita kini dihitung dengan memasukkan 96 komoditas Purchasing Power Parity (PPP). Sebelumnya, PDB per kapita dihitung dengan 27 komoditas saja. PPP, yang dipopulerkan oleh ahli ekonomi Swedia, Gustave Cassel, hampir seabad lalu, merujuk pada keseimbangan daya beli di antara masyarakat di wilayah atau negara yang berbeda.
PNB sendiri menggambarkan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi milik warga negara Indonesia (WNI). Lokasinya bisa di dalam maupun luar negeri. Sementara PDB merupakan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi di dalam negeri. Pemiliknya bisa saja WNI ataupun warga asing.
Dengan teknologi yang semakin maju, arus pergerakan komoditas serta uang antarnegara semakin terbuka dan mudah. Dunia kini seakan tidak berbatas lagi. Jarak fisik atau geografis tidak lagi menjadi penghalang sirkulasi ekonomi dunia. Misalnya saja, uang atau dana dari satu negara bisa berpindah ke negara lain dalam tempo singkat. Sistem keuangan dan perbankan dunia yang semakin saling terkoneksi membuat perpindahan itu menjadi nyata.
Dua indikator lain masih tetap dipertahankan. Keduanya ialah Angka Harapan Hidup saat lahir (AHH) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Hanya saja ada sedikit penyesuaian pada RLS, yang terkait dengan penetapan batas usia penduduk yang diamati. Dalam metode baru, batas usia penduduk dinaikkan menjadi 25 tahun.
AHH merupakan indikator yang mewakili dimensi kesehatan, sementara RLS termasuk ke dalam dimensi pendidikan. Jadi, secara umum, wajah IPM tidak banyak berubah. Hanya ada sejumlah penyesuaian indikator pembentuknya.
Source | : | kompas.com,harian kompas |
Penulis | : | Gloria Samantha |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR