Advertorial
Intisari-Online.com -Hari itu Senin minggu pertama di bulan April. Hari masih pagi, sekitar pukul 06.45. Sebuah sedan Marcedes hitam dengan pelat nomor polisi B 2349 XY meluncur perlahan, keluar dari rumah di Jl. Duta Kencana, kompleks permukiman mewah Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Seperti biasa, sopir yang bernama Ahmad membawa sang majikan, Sugondo, ke kantornya di Jl. Jenderal Sudirman. Sugondo memang berkantor di salah satu gedung pencakar langit di daerah yang setiap hari macet itu, sebagai salah satu direktur bank swasta nasional terkenal.
Baca juga:#CeritaKriminal: Racun Favorit Suster Jane yang Telah Membunuh 50 Orang Tak Bersalah
Sama seperti hari-hari sebelumnya, menjelang masuk ke daerahthree in oneSugondo yang hanya ditemani Ahmad harus mencari seseorang untuk menemani mereka sehingga bisa melintas di kawasan yang mensyaratkan setiap kendaraan harus berpenumpang sekurang-kurangnya tiga orang pada jam tertentu.
Joki langganan
Dari jauh sudah terlihat segerombolan joki, mengacung-acungkan tangan memberi isyarat satu atau dua jari kepada mobil yang lewat. Entah kenapa disebut joki, wanita, pria, maupun anak-anak dari berbagai tingkat usia itu, memanfaatkan kelemahan peraturan untuk mencari uang dengan menyediakan diri sebagai penumpang tambahan.
Setelah masuk atau melewati kawasanthree in oneitu mereka diturunkan. Seperti biasa Ahmad maupun Sugondo menghampiri Wisnu, joki langganan mereka yang selalu mangkal di dekat halte di Jl. Sisingamangaraja. Selain berpenampilan bersih, Wisnu yang berusia 14 tahun itu tak pernah bersikap macam-macam dan selalu sopan.
Dari pada bergonta-ganti joki, setiap hari Wisnu diminta menunggu pada jam tertentu. Hal ini sudah berlangsung hampir sebulan.
Tapi hari itu wajah Wisnu tampak tidak secerah biasanya. Begitu Mercy hitam itu berhenti, Wisnu dengan cekatan naik sebelum mobil itu meluncur kembali. Biasanya ia duduk di samping sopir. Kali ini Wisnu duduk di bangku belakang, di samping Sugondo. Memang tidak ada aturan yang mengharuskan dia duduk di depan. Karena sudah kenal baik, Sugondo pun tidak keberatan.
Dalam perjalanan ke kantor, Sugondo terbiasa menyiapkan berbagai pekerjaan. la memang tipe orang yang tidak mau membuang waktu. Bukan hal aneh jika selama perjalanan itu ia berkali-kali membuka-tutup tasnya untuk mengambil berkas yang dibutuhkan. Tanpa disadari Sugondo, Wisnu diam-diam memperhatikan isi tasnya. Selain berkas-berkas, hari itu kebetulan Sugondo membawa sejumlah uang yang akan dimasukkan ke bank tempatnya bekerja. Uang itu milik istrinya.
Nasib sial Sugondo
Sekitar 200 m setelah memasuki kawasanthree in one, tiba-tiba kesunyian di dalam mobil yang sejuk itu, pecah oleh suara bentakan bocah. "Serahkan uang itu atau...!" Tentu saja Ahmad dan Sugondo sama-sama terkejut. Itu suara Wisnu yang selama ini dikenal pendiam. "Kamu jangan main-main, Wis," kata Ahmad.
"Saya tidak main-main," jawab pemuda tanggung itu.
"Kau mau apa?" bentak Sugondo.
"Apa tidak dengar, saya minta duit di dalam tas Bapak?" jawab Wisnu sambil melotot. Segala keramahannya hilang.
"Apa selama ini saya pernah menyakitimu atau uang yang saya berikan kurang?" tanya Sugondo.
Selama ini kalau joki biasa cukup diberi Rp1.500 - Rp2.000 sekali jalan, Sugondo memang termasuk murah hati. Setiap kali Wisnu selalu diberinya Rp5.000.
Mobil masih terus melaju. Ahmad tidak sempat berpikir bagaimana menggagalkan penodongan ini. Apalagi ia tidak mau mengambil risiko, karena dari kaca spion terlihat perut majikannya ditodong dengan pisau belati.
"Baik, kau boleh mengambil uang itu," kata Sugondo setelah tidak melihat cara teraman menjinakkan pemuda ini.
Rupanya, Wisnu sudah mempersiapkan segalanya secara matang. Segera ia mengeluarkan kantong plastik hitam dari saku celananya. Dalam waktu singkat uang dalam tas Sugondo yang berjumlah Rp 20 juta itu sudah berpindah tempat.
"Minggir!" perintah Wisnu kepada Ahmad untuk menghentikan mobil.
Begitu mobil itu berhenti, Wisnu langsung melompat ke luar dan menyelinap di antara kerumunan orang yang sedang menunggu bus. Dalam beberapa detik saja sulit melacak keberadaan anak itu. Sejenak, Ahmad dan Sugondo merasa tidak percaya dengan peristiwa yang baru mereka alami.
"Sialan benar anak itu," kata Sugondo.
"Untung Bapak tidak apaapa," kata Ahmad berusaha menghibur majikannya.
"Tapi uang itu ...."
"Lebih baik kita lapor polisi, Pak."
Belum sempat Sugondo mengiyakan usulnya, Ahmad langsung mengarahkan mobil ke Polda Metro Jaya yang tak jauh dari situ. Kapten Pol. Setyohadi yang menerima laporan Sugondo, berjanji akan melakukan penyelidikan.
"Jika sudah ada perkembangan, saya akan menghubungi Bapak," katanya.
"Joki-joki ini memang jadi sumber penghasilan baru selain juga jadi ancaman baru bagi masyarakat," katanya kepada anak buahnya, Letnan Pol. Anwar dan Pratomo. "Coba selidiki anak itu, siapa tahu ada dalang di balik kejadian ini," perintahnya.
"Siap, Kapten!" kata kedua anak buah itu serempak.
Selama ini keberadaan para joki dan peraturanthree in one, lahir hampir bersamaan. Para joki dan pengguna jasanya ternyata bisa hidup berdampingan saling menguntungkan. Bagi pengguna jasa, mereka bisa masuk ke kawasan three in one tanpa ditilang, sementara para joki bisa memperoleh penghasilan tambahan.
Berbekal ciri-ciri yang digamparkan oleh Ahmad dan Sugondo, kedua anak buah Setyohadi, Subandi dan Santo, memutuskan untuk menyamar sebagai majikan dan sopir dengan menggunakan sebuah sedan. Mereka menelusuri rute yang biasa ditempuh Sugondo.
Tiap hari mereka menggunakan jasa para joki yang usia dan penampilannyaa kira-kira sesuai gambaran yang mereka miliki. Sayangnya, sampai seminggu usaha mereka belum membuahkan hasil.
"Untuk sementara, mungkin bocah itu tak akan berani muncul," kata Setyohadi. "Tapi itu bukan jaminan ia tidak akan melakukan hal itu lagi. Mungkin saja ia pindah ke rute lain. Coba arahkan pengintaian kalian ke kawasan lain," Setyohadi memberi saran.
Baca juga:[Perkara Kriminal] Cinta Mati yang Dibawa Mati
Belum lagi Wisnu berhasil dibekuk, dua hari kemudian kasus serupa muncul lagi di sebuah media massa ibu kota. Si penulis surat pembaca memberi gambaran pelakunya juga seorang pemuda tanggung. Tapi kali ini si penodong tak berhasil menggondol uang korbannya, meskipun ia berhasil melarikan diri setelah melukai lengan sang korban.
Mengaku jadi mahasiswa
Mendengar berita ini Santo dan Subandi semakin gemas. Berita ini seakan akan mengejek mereka. Karena itu mereka semakin giat melakukan tugasnya. Seperti saran atasannya, mereka kini mengarahkan pengintaian ke beberapa jalan lain yang memiliki akses ke kawasan berpenumpang minimal tiga orang itu.
Tentu saja para joki di kawasan Jl. Gatot Subroto belum tentu kenal dengan para joki di kawasan lainnya. Tetapi dengan memberi gambaran ciri-cirinya berupa bekas luka di atas alis sebelah kanan dan tahi lalat di bibir kiri, Chandra, joki remaja yang mereka sewa hari itu mengira-ngira kira-kira siapakah anak yang dimaksud.
"Ada perlu apa sih Bapak mencarinya? Apakah ia keluarga Bapak atau pernah melakukan kesalahan?" selidik Chandra.
Rupanya, di antara para joki pun ada semacam perasaan senasib, sehingga tak mudah bagi mereka untuk membuka identitas sesamanya.
"Kami hanya ingin memberikan uang sekolah yang tiap bulan kami janjikan kepadanya," kata Santo dengan hati-hati.
"Oh, saya kira Bapak polisi. Soalnya, sering kali kami digaruk polisi dan ditahan selama beberapa hari," kata Chandra terus terang.
Melihat gelagat itu kedua polisi itu tak mau informan mereka menjadi curiga, sehingga mereka akan semakin jauh dari sasaran yang dicari. "Kami sebenarnya mahasiswa yang sedang mengadakan penelitian mengenai para joki itu. Soalnya, konon dengan melakukan pekerjaan ini banyak anak-anak yang seharusnya masih bersekolah, sekarang lebih suka menjadi joki sehingga sekolah mereka telantar," jawab Subandi cepat.
"Apakah para joki juga sering berganti-ganti lokasi?" tanya Santo.
"Umumnya sih tidak, Pak. Masing-masing biasanya sudah punya langganan tetap. Tapi hal seperti itu bisa saja terjadi, seperti yang dilakukan Bimo, yang sebelumnya biasa mangkal di daerah Jl. Sisingamangaraja."
Mendengar hal itu denyut jantung Subandi dan Santo segera bedetak cepat karena kegirangan. Mungkin dari sinilah mereka bisa menelusuri lebih lanjut keberadaan sasaran mereka. Keduanya berusaha menahan diri.
"Memangnya kenapa si Bimo itu pindah?" tanya Subandi.
"Katanya, sih karena di daerah itu sudah terlalu banyak saingan," kata Chandra.
"Menarik sekali kalau kami bisa mewawancarai Bimo. Apa kamu tahu di mana alamatnya?" tanya Subandi lagi.
"Saya enggak tahu, soalnya kami belum akrab. Nanti kalau sudah tahu, saya beri kabar deh," kata anak itu seakan-akan memberi janji. Padahal di benak Chandra saat itu langsung melintas bayangan Bimo, yang memiliki tanda-tanda fisik seperti yang disebutkan oleh kedua lelaki itu.
"Tapi jangan bilang dulu sama dia kalau kami mau mewawancarainya!" pesan Subandi. "Yang penting kami ingin bertemu dengannya."
Sampai di depan Wisma Dharmala, Subandi mengarahkan mobilnya ke jalur lambat dan berhenti di depan halte. Setelah memberi Chandra uang dan berjanji menjemputnya kembali besok, mereka pun berpisah.
Chandra jadi penghubung
"Mungkinkah Bimo itu Wisnu yang kita cari, Ban?" tanya Santo kepada Subandi.
"Siapa tahu. Mudah-mudahan, melalui Chandra kita bisa mengungkap kasus ini. Kita tunggu saja kabar darinya," jawab rekannya.
Apa yang diperoleh hari ini mereka laporkan pada Setyohadi. Sejauh ini Sugondo pun belum menghubungi mereka lagi. Seperti yang dijanjikan kemarin, keesokan harinya Chandra sudah menunggu di tempat yang ditentukan. Wajahnya kelihatan gembira.
"Pak, saya berhasil bertemu Bimo," katanya dengan antusias.
"Ia tinggaldi daerah Pasar Jumat, Ciputat, bersama ibunya. Katanya sih, ia pindah dari tempat semula karena tidak ingin bertemu lagi dengan seorang pelanggan yang dibencinya. Kalau Bapak ingin bertemu, nanti saya antar ke tempat di mana dia biasa mangkal," kata Chandra.
"Bagaimana kalau kita cari besok pagi? Lebih cepat lebih baik," kata Santo antusias.
"Yoi," kata Chandra dengan lagak anak Jakarta.
Sesampai di tempat biasa Chandra segera melompat turun setelah mengantongi imbalan. "Ingat besok pukul 06.00 di tempat biasa, ya!" teriak Santo dari jendela.
"Siplah!" sahut pemuda tanggung itu sambil melambaikan tangan.
"Rasanya kita semakin dekat dengan sasaran, meskipun kita belum bisa memastikan apakah Bimo itu Wisnu," kata Santo.
"Ya, kita mesti menahan rasa ingin tahu semalam ini lagi," jawab Subandi.
Keesokan harinya dengan penuh semangat kedua polisi ini segera meluncur ke tempat yang dijanjikan. Di halte yang biasa, Chandra sudah menunggu. Melihat "teman-temannya" datang, dengan cekatan Chandra segera masuk ke mobil itu.
"Ke mana kita?" tanya Subandi.
"Ke arah Ciputat, Pak. Sambil jalan nanti saya tunjukkan di mana Bimo biasa menunggu kendaraan umum yang akan membawanya ke tempat ia biasa mangkal," jawab Chandra.
Untuk menghindari kemacetan, Subandi mengambil jalan tikus. Kira-kira 100 m setelah Restoran Situ Gintung, tiba-tiba Chandra memberi aba-aba. "Di gang sebelah depan kita berhenti, Pak. Rumah Bimo ada di dalam gang itu. Mudah-mudahan ia belum berangkat, karena sesuai perintah Bapak saya tidak mengatakan kalau Bapak akan datang ke tempatnya," kata Chandra.
Baca juga:[Perkara Kriminal] Kematian Gadis 9 Tahun: Kuncinya Ada di Percikan Darah di Kamar Couey
Mereka segera memarkir kendaraan sedekat mungkin, agar bisa mengamati Bimo dengan baik. Belum sampai sepuluh menit menunggu, Chandra segera berkata sambil menunjuk pada seorang pemuda tanggung, "Itu dia Bimo."
Meskipun hanya berkaus dan bersandal jepit, pemuda tanggung itu memang berpenampilan bersih. Setelah berembuk, akhirnya disetujui Chandra memanggil anak itu.
"Bim! Bimo!"
Yang dipanggil langsung menoleh.
"Kemari." Sejenak Bimo menahan langkahnya. Tetapi begitu tahu yang memanggilnya Chandra, teman barunya, ia segera melangkah kembali.
"Kok tumben kamu ada di sini?" tanya Bimo.
"Ya, aku memang menunggu kamu," jawab yang ditanya.
"Memangnya ada apa?"
"Ada yang mau kenalan sama kamu."
"Siapa?" tanya Bimo dengan nada agak curiga.
"Dua orang mahasiswa. Kenapa?"
"Oh, aku kira ...," kata Bimo tanpa menyelesaikan ucapannya.
"Kau kira siapa?" tanya Chandra agak heran.
"Bukan siapa-siapa. Tapi apa hubungannya mereka mencari aku?" tanya Bimo.
"Begini lo, mereka itu mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Mereka tertarik pada pekerjaan kita dan ingin mewawancaraimu mengenai suka dukanya jadi joki."
"Kenapa enggak kamu aja? 'Kan sama aja?”
"Semakin banyak yang diwawancarai 'kan makin lengkap. Apalagi kamu 'kan baru saja pindah dari tempat lain. Mungkin pengalamanmu lebih lengkap."
Memasang perangkap
Dengan perasasan enggan, kedua pemuda tanggung itu menghampiri kedua polisi yang tetap berada di dalam mobil.
"Maaf, Dik, kalau kami mengagetkanmu. Kenalkan, saya Subandi dan ini Mas Santo," kata Subandi membuka percakapan.
Sama seperti skenario yang dikatakannya pada Chandra, kedua polisi ini pun mengaku sedang melakukan penelitian terhadap para joki. "Adik tidak keberatan 'kan jika kita ngobrol-ngobrol sebentar. Karena di pinggir jalan bising, apakah kami bisa ke rumah Adik saja?" tanya Santo.
Setelah yakin bahwa ketakutannya tidak beralasan, Bimo setuju untuk mengajak tamunya ke rumahnya yang sederhana.
"Lo, kok kamu balik lagi? Apa ada yang ketinggalan?" tanya seorang wanita setengah baya yang muncul dari dalam.
Setelah memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud kedatangan mereka, Subandi dan Santo mengatakan bahwa mereka juga tidak ingin merugikan Bimo. Mereka berjanji memberi uang sebagai kompensasi waktu Bimo yang terbuang karena mengobrol dengan mereka.
"Apa yang membuat kamu tertarik jadi joki?" tanya Subandi mulai melancarkan serangannya.
"Ya, untuk membayar uang sekolah dan menambah belanja ibu," kata Bimo tanpa ragu.
"Memangnya kamu sekolah di mana?" sambung Santo.
"Di SMP Bakti Ibu, tak jauh dari sini. Saya masuk siang. Karena itu pagi hari saya gunakan untuk mencari uang. Soalnya, kasihan ibu membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan kami."
"Memangnya ayahmu di mana?"
Sejenak Bimo kelihatan ragu dan tampaknya pertanyaan ini sulit untuk dijawabnya. "Saya tidak tahu ke mana dia. Tapi yang pasti, ia sudah lama tidak pernah pulang."
"Menurut Chandra, kamu baru saja pindah daerah operasi. Mengapa kamu sampai pindah, bukankah itu berarti kamu kehilangan pelanggan yang sudah kamu kenal sejak lama?" tanya Subandi.
"Memang benar sih apa yang Mas bilang. Tapi karena suatu hal yang tidak bisa saya jelaskan, saya pindah ke daerah Gatot Subroto sehingga saya bisa berkenalan dengan Chandra."
Setelah bercakap-cakap sekitar tiga perempat jam, akhirnya Subandi, Santo, dan Chandra mohon diri. Tak lupa Santo menyelipkan uang Rp10 ribu ke saku Bimo yang segera mengucapkan terima kasih.
"Kalau kamu mau ikut sekalian ke pangkalanmu juga boleh, Bim," kata Santo dengan ramah.
"Baik, Mas. Saya pamitan dulu sama ibu," katanya sambil menyelinap masuk.
Ditinggal pergi
Mereka segera meluncur kembali ke arah Jakarta dan kedua joki itu minta diturunkan di pangkalan mereka. Subandi dan Santo sama-sama yakin bahwa Bimo itu memang Wisnu yang mereka cari.
"Rasanya benar, San. Bimo itu pasti Wisnu yang kita cari. Menurutmu, bagaimana kalau kita balik lagi ke rumahnya dan menanyai ibunya, siapa tahu bisa melengkapi informasi yang kita miliki," kata Subandi.
"Aku rasa memang begitu sebaiknya. Soalnya, ketika ditanyai soal ayahnya, nampaknya Bimo agak bimbang dan bingung. Oke, kita balik saja sekarang!" katanya sambil mengarahkan mobil itu kembali ke rumah Bimo.
"Kami kembali hanya karena ada pertanyaan yang ingin kami ajukan kepada Ibu. Apakah Ibu bisa meluangkan waktu sebentar?" tanya Subandi.
"Silakan masuk," kata ibu Bimo.
"Begini, Bu. Kami tadi menanyakan kepada Bimo mengenai pekerjaannya sebagai joki. Tapi rasanya ada sesuatu yang belum lengkap. Yaitu mengenai ayah Bimo, apakah ia juga mengizinkan anaknya untuk bekerja sebagai joki? Menurut Bimo, ayahnya sudah lama tidak pulang," kata Subandi.
"Semula saya sendiri tidak mengizinkannya untuk menjadi joki. Selain berbahaya dan mengganggu sekolahnya, saya takut anak saya ditangkap polisi. Mengenai ayah Bimo, saya memang tidak banyak menceritakannya kepadanya. Tapi suatu kali ia pernah bertanya di mana ayahnya, terpaksa saya ceritakan kalau ayahnya sudah lama tidak kembali. Menurut yang saya dengar ia kini tinggal di Jakarta. Meskipun dari Ciputat ke Jakarta bukanlah jarak yang jauh, tapi saya tidak berusaha mencarinya, apalagi menemuinya. Soalnya, saya menganggap dia sudah tidak menginginkan kami lagi. Suami saya pergi meninggalkan kami, saat Bimo berusia 10 tahun. Belakangan saya tahu, sebelum menikah dengan saya, ternyata ia sudah berkeluarga dan memiliki beberapa anak. Ayah Bimo tentu tidak tahu kalau anaknya kini menjadi joki. Suatu ketika Bimo pernah mengatakan, siapa tahu suatu hari kelak ia bisa bertemu dengan ayahnya."
"Siapa nama lengkap Bimo?" tanya Santo.
"Wisnu Bimo. Kadang ada yang memanggilnya Wisnu, tapi ada juga yang memanggilnya Bimo. Sayang, nasibnya tidak sebaik namanya," kata ibu itu seakan berkata kepada diri sendiri.
"Ayah Bimo itu siapa namanya," sambung Santo.
"Sugondo. Bayu Sugondo. Saya sudah tidak ingin mengingat-ingat nama itu lagi."
"Sugondo?" tanya Santo dan Subandi hampir berbarengan.
"Ya, Sugondo. Memangnya kenapa?" tanya wanita itu bingung.
"Apakah Ibu kenal dengan foto ini?" tanya Santo sambil menyodorkan sebuah foto. Melihat foto ini wanita itu kaget. "Dari mana foto ini?" tanyanya penuh selidik.
"Ya, inilah ayah Bimo. Bayu Sugondo. Sebenarnya apa maksud kalian ...? Saya juga memiliki foto ini."
Mencoba melarikan diri
Akhirnya, kedua polisi itu menceritakan terus-terang siapa mereka sebenarnya dan apa yang sedang mereka lakukan Untuk meyakinkan, mereka memperlihatkan identitas dan surat penangkapan yang mereka bawa.
"Minggu lalu Pak Sugondo ditodong oleh seorangjoki bernama Wisnu. Melihat berbagai kemiripan, saya rasa pelakunya putra Ibu sendiri," kata Santlo mantap.
"Tapi mana mungkin? Anak saya tak pernah macam-macam selama ini. Dia bukan penjahat. Saya tak yakin," kata ibu ini seakan-akan tidak percaya pada pendengarannya sendiri.
"Tapi kami harap Ibu tenang. Kami akan berusaha membawa Bimo ke kantor polisi untuk diinterogasi," lanjut Subandi.
"Jangan, Pak. Saya mohon, jangan. Dia anak saya satu-satunya. Jangan sakiti dia."
"Kami berjanji akan memperlakukannya dengan baik dan takkan menyakiti dia. Kalau diperlukan kami akan memanggil Ibu. Jadi, mohon Ibu tenang-tenang saja. Baiklah, Bu. Terima kasih atas bantuan Ibu. Kalau ada perlu, silakan menghubungi kami di kantor polisi," kata Subandi seraya meninggalkan telepon kantornya di secarik kertas.
Kedua polisi ini segera meluncur ke tempat mereka menurunkan Bimo alias Wisnu. Untung Chandra ada di situ.
"Mana Bimo?" tanya Santo.
"Sedang mengantar seorang langganannya. Tunggu saja, Pak. Sebentar lagi juga dia kembali."
Selang seperempat jam kemudian Bimo kembali. Melihat Santo dan Subandi ada di situ, ia sempat curiga dan berusaha melarikan diri. Namun kerburu tertangkap oleh kedua polisi itu.
"Lepaskan aku!" katanya sambil berusaha meronta dari cengkeraman tangan Santo.
"Pak, Bapak apakan Bimo?" tanya Chandra bingung. “Dia 'kan tidak bersalah apa-apa. Mengapa Bapak tangkap dia? Lepaskan dia, atau saya laporkan Bapak pada polisi," bela Chandra.
Terkuaknya rahasia lama
Setelah berhasil menenangkan kedua pemuda tanggung itu, kedua polisi tersebut membuka rahasia siapa diri mereka sebenarnya. Karena itu mereka meminta Bimo dan Chandra ikut ke kantor polisi. Di kantor polisi Kapten Setyohadi menyambut kedatangan mereka. Setelah mendengarkan secara singkat hasil penyelidikan kedua anak buahnya, dengan ramah sang kapten menanyai Bimo.
"Apakah kamu yang bernama Wisnu alias Bimo?"
"Benar, Pak," jawabnya singkat.
"Apakah kamu tahu mengapa kamu dibawa ke sini?'
"Tidak. Saya tidak pernah berurusan dengan polisi."
"Memang benar, kamu selama ini tidak pernah berurusan dengan polisi," sambung Setyohadi.
"Tapi benarkah kamu pernah melakukan kejahatan minggu lalu dengan menodong Pak Sugondo ketika kamu menjadi joki?"
"Ya," katanya perlahan.
"Mengapa kamu lakukan hal itu, padahal selama ini Pak Sugondo memperlakukanmu dengan baik?"
"Baik? Baik bagaimana yang Bapak maksudkan? Justru selama ini saya dendam kepadanya," kata Bimo terus terang tanpa menutupi rasa benci terhadap orang bernama Sugondo itu.
Sementara itu Santo diminta atasannya untuk menghubungi Pak Sugondo dan memintanya segera datang ke kantor polisi. Dengan didampingi Ahmad, sang sopir, 20 menit kemudian Sugondo tiba di kantor polisi.
Keduanya lalu dipertemukan dengan Bimo alias Wisnu. Sugondo membenarkan anak itulah yang melakukan penodongan. Kapten Setyohadi melanjutkan pertanyaannya kepada Bimo.
"Tadi kamu mengatakan dendam kepada Pak Sugondo. Bisa kamu ceritakan apa yang pernah dilakukan oleh Pak Sugondo sehingga kami menaruh benci kepadanya?"
"Tanya saja pada dia sendiri," jawab Bimo ketus.
"Apakah Bapak bisa menceritakan apa yang pernah Bapak lakukan terhadap anak ini?" tanya Setyohadi.
"Saya tidak tahu. Rasanya saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun terhadapnya. Selama ini saya selalu memperlakukannya dengan baik. Sebenarnya, saya sayang kepada anak itu, tetapi saya tidak mengerti mengapa pada hari itu ia tiba-tiba berubah menjadi demikian," kata Sugondo.
"Kau memang tidak pernah melakukan kesalahan secara langsung padaku. Tapi apa yang pernah kau perbuat terhadap ibuku? Kau meninggalkanku selagi aku membutuhkan kasih sayang seorang ayah. Sementara ibu membanting tulang untuk menghidupiku, kau enak-enakan tinggal di rumah mewah bersama istri yang lain dan anak-anakmu!” kata Bimo setengah berteriak karena geram.
"Maksudmu kau ini siapa?!" tanya Sugondo agar kaget dan bingung.
"Kau pasti tidak mengenali lagi anakmu sendiri, tapi kau tak mungkin lupa 'kan pada seorang wanita sederhana yang pernah kau nikahi lalu kau tinggalkan setelah memiliki seorang anak. Wanita itu adalah ibuku, namanya Ratna."
Dikirim ke Tangerang
Mendengar nama itu, Sugondo tampak terguncang. Sesaat setelah bisa mengendalikan perasaannya ia bertanya, "Jadi, kau Wisnu Bimo, anakku?" tanya Sugondo tak percaya.
"'Ya, benar, dia memang anakmu," terdengar suara seorang wanita di ruangan itu. Ternyata itu suara Ratna, orang yang sangat dicintai Bimo. Rupanya, karena khawatir akan keselamatan anaknya, Ratna menyusul ke kantor polisi.
"Maafkan saya, Bu. Saya menyusahkan Ibu. Sebenarnya saya hanya ingin memberi pelajaran terhadap orang ini, bagaimana rasanya kehilangan sesuatu. Ternyata bagi dia kehilangan uang sebesar itu saja sudah membuatnya menderita. Tapi apa artinya jika dibandingkan dengan Ibu yang kehilangan seorang suami dan saya yang kehilangan kasih sayang seorang ayah?" kata Bimo.
Baca juga:#CeritaKriminal: Racun Favorit Suster Jane yang Telah Membunuh 50 Orang Tak Bersalah
"Maafkan aku, Ratna. Aku selama ini telah menelantarkan kalian. Maafkan ayahmu, Bimo. Aku memang bukan suami dan ayah yang baik. Namun kejadian hari ini sudah membuka mataku, betapa kerdilnya tingkah lakuku," kata Sugondo lirih.
Ternyata secara tak disengaja Bimo menemukan foto Sugondo yang disimpan oleh ibunya. Dia tahu dari mulut ibunya ia tidak bisa mengharapkan cerita lengkap perihal sang ayah yang menghilang entah ke mana. Anak ini memang keras hati. Dengan bersusah payah ia mencoba menghubungi saudara dari pihak ibunya, yang diduga tahu mengenai hubungan ibunya dengan ayahnya di masa lalu.
Ketika ia hampir putus harapan, seorang pamannya yang sejak awal ternyata memang tidak merestui hubungan Ratna dengan Sugondo, mau buka mulut. Dari pamannya inilah ia memperoleh gambaran lebih lengkap mengenai lelaki yang menjadi ayahnya itu.
Menurut pamannya, suatu kali ia sempat melihat Sugondo di depan kantornya. Keterangan inilah rupanya yang dimanfaatkan oleh Wisnu untuk mengintai keberadaan ayahnya. Ketika pertama kali bertemu dengan Sugondo, hati anak muda ini berkecamuk. Tapi mengingat berbagai penderitaan hidup yang ia jalani bersama ibunya, akhirnya rasa bencinya mengalahkan rasa rindunya.
"Keinginanmu hari ini sudah terlaksana bertemu dengan ayahmu meskipun keadaannya sangat tidak mengenakkan. Mari kita ambil hikmah dari kejadian in," kata Ratna sambil memeluk anak tunggalnya. "Hilangkan dendam di hatimu, Nak, karena itu akan membuat hatimu lega," sambung Ratna dengan bijak.
Dalam persidangan, akhirnya hakim memutuskan mengirim Bimo ke penjara anak-anak di Tangerang selama setahun. Selain masih di bawah umur, hakim menilai Bimo masih bisa diperbaiki. Uang Rp 20 juta yang dirampas Bimo diberikan Sugondo kepada Ratna untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari.