Intisari-Online.com – Beberapa waktu yang lalu seorang pasien datang dengan keluhan ada “seriawan” di mulut dan lidah selama lebih dari seminggu. Tidak ada gejala lain dan penyakit itu sering terulang. Waktu baru sakit, ia berobat ke seorang internis. Ia diperiksa dan disuruh pergi ke laboratorium untuk periksa darah. Ia terkejut karena biayanya sekitar Rp700.000,-. Tanpa banyak bertanya ia membayar karena itu perintah dokter dan sakitnya sangat mengganggu. Sorenya ia kembali berobat membawa hasil laboratorium dan kemudian diberi resep dokter yang tebusannya kembali membuat ia kaget, Rp300.000,-.
(Atasi Sariawan Dengan Enam Pengobatan Alami Berikut Ini!)
Setelah seminggu tidak juga sembuh ia pun berobat lagi. Entah ilusi apa yang ada di benak dokter itu sampai seriawan biasa yang begitu sering diderita orang Indonesia, yang biasa cukup di-“obati” dengan minum cairan panas dalam, sampai harus mengeluarkan biaya sampai 1 juta rupiah.
Padahal, pengobatan seorang dokter hanya berupa penjelasan apa yang tidak boleh dimakan ataupun diminum, serta beberapa vitamin sebagai plasebo. Hasilnya, tidak terpantau karena ia tidak kembali lagi, mungkin karena sudah sembuh sendiri dengan pantangannya terhadap makanan yang merangsang.
Seriawan yang sering kita alami tidaklah sama dengan “scurvy”. Seriawan juga bukan prekursor (gejala yang mendahului – Red.) dari scurvy. Dewasa ini scurvy sudah sangat jarang terjadi di dunia. Scurvy awalnya muncul ketika orang dahoeloe berlayar dari Eropa selama berbulan-bulan untuk berpetualgan dan mengambil rempah-rempah dari Asia.
Karena bahan sayur dan buah segar tidak tersedia di kapal, persediaan vitamin C di tubuh pun habis total. Ini yang memicu timbulnya scurvy dalam wujud penyakit sistematik yang hebat, dengan perdarahan di berbagai tempat, termasuk mulut, lidah, dan gusi. Ini juga disertai dengan kerusakan semua sel tubuh. Maklum saja, vitamin C dibutuhkan oleh semua sel hidup agar bisa berfungsi baik. Di mulut timbul luka-luka dalam yang berdarah sehingga makan pun tidak bisa. Selaput lendir mata, hidung, dan usus, serta kulit juga menunjukkan gejala luka-luka dan berdarah.
Penyakit ini kemudian diteliti secara meyakinkan oleh James Lind (1747), seorang dokter kapal Inggris yang tiap hari memberi 2 jeruk orange dan sebuah lemon kepada separuh awak kapal. Ternyata kelompok ini tidak terserang scurvy, sementara yang tidak diberi buah mengalami sakit. Kemudian diketahui bahwa kekurangan vitamin C-lah penyebabnya.
Kini, kondisi seperti di kapal itu hampir tidak pernah terjadi lagi, tetapi masyarakat tetap makan vitamin C (kadang-kadang dosis tinggi) untuk mengobati atau mencegah seriawan atau penyakit lain. Padahal, tidak terdapat bukti ilmiah bahwa seriawan (biasa) bisa disembuhkan oleh vitamin C. Walau memang benar, vitmain C sendiri merupakan bahan yang amat penting bagi tubuh, dan alam telah menyediakannya untuk kita dalam jumlah berlimpah dalam bahan makanan. Jeruk, tomat, cabai, paprika, serta pelbagai jenis buah dan sayuran lain juga mengandung kadar vitmain C yang tinggi. Biasanya seriawan akan hilang sendiri dalam beberapa hari bila makanan yang merangsang seperti cabai, cuka, dan sebagainya, dihentikan untuk sementara.
Sebaliknya, ada cukup kecurigaan bahwa vitamin C dosis tinggi (terutama yang dilumatkan dalam mulut) dan bahan makanan yang asam atau pedas lainnya, justru yang menjadi penyebab bahkan memperpanjang kasus-kasus seriawan. Banyak orang melaporkan tumbuh seriawan bila makan jeruk yang asam dari Australia (yang banyak dijual di Indonesia), dan bila dilakukan challenge test (diberi lagi) seriawan akan timbul lagi.
Tentu juga harus dipikirkan adanya faktor lain yang dapat mencetuskan seriawan di mulut dan lidah, seperti gigi geraham yang runcing karena patah atau karies, atau karsinoma. Malah saya pernah melihat seroang wanita tua yang seriawan selama 2 tahun berturut-turut. Tadinya penyakit itu diduga tumor mulut tetapi ternyata disebabkan oleh kebiasaan barunya minum dan makan yang panas mendidih. Ini terbukti ketika di bawah gigi palsunya sama sekali tidak ditemukan luka, sementara di belakangnya terlihat luka yang berbatas tegas dengan gigi palsunya. Juga setelah kebiasaan aneh ini dihentikan ia tidak lagi menderita seriawan. (Prof. dr. Iwan Darmansjah, Sp.FK.)