Advertorial
Intisari-Online.com – Bagi pelancong yang mengendarai mobil sendiri, India mematok kesan yang mendalam. Lewat jalan-jalan di daerah pedesaan, kita akan menyaksikan perbauran nilai-nilai khas yang timbul dari suatu masyarakat yang sangat bersahaja.
Begitu mobil kami melintasi perbatasan Pakistan-India dan menuju New Delhi, kepadatan jalan sangat terasa. Jalan yang pantas untuk cuma 2 mobil berpapasan itu dijejali tidak saja oleh truk dan traktor, melainkan juga gerobak, becak, sepeda dan sapi!
Truk merangkak lambat. Kita maklum, sebab pada bak belakangnya tercantum "speed 40 km". Tulisan "horn please" (mohon klakson) tertera di bak belakangnya.
Selagi akan menyalip truk maka jangan dongkol bila terlebih dahulu kita harus mentalu-talukan bunyi klakson secara bersambungan, sebelum dia meminggir untuk memberi jalan.
Jika kita menguntit gerobak yang ditarik sapi atau kerbau, setelah mengklaksonnya, jangan kira dia akan otomatis meminggir ke sebelah kiri dan kita langsung bisa menyalibnya dari sebelah kanan.
Baca juga: Hanya di India, Gara-gara Petir, Pernikahan Batal, Perkelahian Massal pun Pecah
la bisa meminggir ke kiri maupun ke kanan. Jadi sebelum menyalib lihat dulu "anginnya" ke kiri atau ke kanan. Jika sudah jelas meminggir ke mana, barulah menyalibnya. Repotnya kalau menabrak sapi maka bisa-bisa kena keroyokan penduduk.
Berhubung banyaknya sapi yang berkeliaran di jalan, sudah tentu kemungkinan tidak sengaja menabraknya cukup besar. Ah... tak mujur, kamipun sempat berurusan dengan sapi.
Menjelang kota Kanpur, tiba-tiba seekor sapi nyelonong dari iringan truk yang berlawanan dengan kami dan seketika sudah berada di hadapan kami. Tak terhindarkan lagi, bumper depan membentur pantat sang sapi. Dia terlempar ke samping dan terduduk lemas.
Kontan kami menggenjot mobil dengan kecepatan penuh. Takut penduduk turun tangan. Ketika seperempat jam kemudian kami berhenti yakni setelah merasa aman, ternyata "grill" dan kap mesin dari Mazda 323 kami sudah penyok. Ya, kenang-kenangan dari binatang yang dianggap suci itu.
Ketika mobil kami meluncur di daerah pedesaan di negara bagian Bihar, tampak seorang lelaki tua berjalan tanpa secarik kainpun melekati tubuhnya. Di depan itu ada 4 orang pria bugil lagi jalan beriringan.
Demikian pula dalam 5 Km berikutnya, kami menjumpai tidak kurang 10 pria bugil.
Semuanya serupa. Masingmasing menenteng kendi air yang terbuat dari tanah liat dan menggenggam sebuah kipas yang entah terbikin dari apa.
Di belakangnya mengiringi seorang atau dua orang wanita yang berpakaian serba putih dan membawa kipas bersama cerek air yang terbuat dari logam.
Lain lagi kejadian di pedalaman dekat kota Indore, negara bagian Madhya Pradesh. Di tepi jalan nongkrong 3 ekor gajah dan segerombolan orang yang berpakaian aneh dengan muka tercoreng berbagai garis berwarna.
Tanpa pikir panjang kami memberhentikan mobil. Baru hendak mematikan mesin mobil, muncul beberapa orang yang berteriak sembari mengacungkan golok. Buru-buru, kami tancap gas.
Sesungguhnya kejadian-kejadian ini menggambarkan betapa masih kokohnya sistim sosial membentengi rambatan pembangunan di India. Hanya saja, bagi pelancong yang ganjil itu justru menyenangkan.
Meskipun itu suatu ironi! (Ditulis oleh Erlangga Ibrahim – Intisari Juli 1979)