Studi menyimpulkan bahwa, dari ke-225 responden, 34 persen memiliki “borderline Selfitis”, 40,5 persen “selfitis akut” dan 25.5 persen “selfitis kronis”. Responden berjenis kelamin pria cenderung lebih rawan menunjukkan selfitis daripada perempuan, yakni 57,5 persen berbanding 42, persen.
BACA JUGA: 5 Tempat Wisata yang Harus Kita Kunjungi, Salah Satunya Ada Taman Neraka Lo!
“Kami harap akan ada riset lanjutan untuk menggali lebih jauh tentang bagaimana dan kenapa orang-orang mengidap perilaku obsesif ini, dan apa yang bisa dilakukan untuk menolong orang-orang yang menderita paling parah,” sebut Dr. Janarthanan Balakrishnan dari departemen psikologi Nottongham Trent University.
Namun tak semua pihak setuju dengan hasil studi di atas. Dr. Mark Salter, juru bicara The Royal College of Psychiatrists, misalnya, menyuarakan kritik dan mengatakan bahwa fenomena “selfitis” sebenarnya tidak ada dan tidak seharusnya ada.
“Ada kecenderungan untuk melabeli serangkaian perilaku kompleks manusia dengan satu kata. Tapi ini berbahaya karena bisa membuat sesuatu menjadi nyata, padahal sebenarnya tidak,” kata Salter.(Oik Yusuf)
BACA JUGA: Tanda-tanda Pasangan Hanya Memanfaatkan Anda, Salah Satunya Mungkin Sedang Anda Rasakan
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR