Advertorial

Nasib Buruh Cilik di Tempat Pembuangan Sampah di Bangladesh, Hanya Diupahi Rp5 Ribu per Jam

Tatik Ariyani
,
Mentari DP

Tim Redaksi

Intisari-Online.com - Bertelanjang kaki dengan mengenakan celana pendek dan rompi, Mahfuz yang berusia tujuh tahun mengais di tempat pembuangan sampah yang kotor untuk mencari sampah plastik.

Dia adalah salah satu dari banyak anak yang bekerja dalam kondisi kumuh di Bangladesh, di mana Inggris mengirimkan sampah plastik untuk didaur ulang.

Mereka hanya dibayar 3.60 Pound (Rp67.500) untuk bekerja hingga 12 jam dalam sehari.

Botol-botol merek Coca-cola, Sprite, dan Fanta yang menjadi sampah di Inggris adalah beberapa jenis sampah yang disortir ke sekitar 5.000 mil jauhnya.

Baca Juga:Pengalaman Naik Taksi di Rusia Saat Liputan Piala Dunia, Kecepatannya Bikin Jantung Serasa Mau Copot!

Para kritikus mengatakan perusahaan Inggris yang terlibat dalam ekspor sampah plastik rumah tangga tidak punya cara untuk memeriksa apakah anak-anak akan terlibat di dalamnya.

Fiona Nicholas dari Greenpeace UK mengatakan bahwa membersihkan limbah mereka dengan mengirimnya ke negara orang lain bukanlah solusi untuk masalah plastik Inggris.

Daripada hanya memindahkan sampah plastik, mereka harusnya mematikan sumber plastik tersebut.

Inggris mengirim lebih dari 110.000 kg sampah plastik rumah tangga untuk didaur ulang ke Bangladesh dalam empat bulan pertama tahun ini.

Awal bulan ini, sebuah laporan Organisasi Buruh Internasional menemukan 1,2 juta anak berusia di bawah 14 tahun terperangkap dalam pekerjaan dengan bayaran rendah di negara Asia yang berpenduduk padat.

Baca Juga:Piala Dunia 2018: Lakukan Selebrasi Gol Seperti Ini, Dua Pemain Swiss Bisa Ini Dihukum 2 Pertandingan

Dalam suatu kunjungan ke ibu kota Dhaka, Mirror menemukan anak-anak memilah botol di tempat sampah.

Di tempat pembuangan Matuail di pinggir kota, di sebelah jalan raya yang penuh dengan asap dan got terbuka, ratusan becak bermotor digunakan untuk mengangkut tumpukan botol plastik.

Di sana, juga ada Rithoy (12) yang seharusnya berada di sekolah, tapi malah bekerja penuh waktu di pabrik daur ulang pinggir jalan.

Rithoy harus berebut dengan gesit melintasi gundukan yang tidak aman, yang dipenuhi dengan truk penuh botol setiap hari.

Dia mengatakan hanya dibayar kurang dariRp5.600 per jam untuk memisahkan botol menurut warna bersama ibunya dan anggota keluarga lainnya.

Baca Juga:Resmi! Jika Memiliki SIM, Perempuan di Arab Saudi Boleh Menyetir

Monir Mumtaz mengatakan dia mempekerjakan 10 orang, termasuk Rithoy dan beberapa anak lainnya.

Boto-botol itu akan dihancurkan menjadi serpihan, dikeringkan, dikemas dalam karung, dijual ke dealer, lalu diekspor ke China.

Serpihan ini diubah menjadi serat poliester untuk membuat pakaian, seprai dan karpet.

Monir sendiri hanya dibayar 30 Pound (Rp563.000) untuk setiap karung serpihan putih atau hijau.

Kondisi lingkungan yang buruk di sekitar kota juga turut memperparah kondisi tersebut.

Bau tengik dari makanan yang dibuang, bau kotoran manusia, asap beracun, limbah dan kondisi menjijikkan lainnya berpeluang membawa penyakit yang mematikan.

Belum lagi anak-anak yang bekerja di sampah tanpa pengawasan dan perlindungan bisa saja terkena penyakit dari bakteri, nyamuk, tikus dan anjing.

Meskipun industri daur ulang berkembang di Bangladesh untuk menyediakan lapangan pekerjaan satu-satunya bagi keluarga miskin, sampah yang dibuang ke sungai tetap saja jumlahnya melimpah.

Sebuah studi akademis baru-baru ini menunjukkan bagaimana Bangladesh adalah satu dari 10 penyumbang terburuk untuk plastik di laut.

Baca Juga:Diduga dari Indonesia, Pantai Australia Ini Dipenuhi Bermacam Limbah

Artikel Terkait