Advertorial

Ho Lopis Kuntul Baris, Slogan Bung Karno Mengajak Rakyat untuk Menggalang Kekuatan

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Anak remaja sekarang mungkin tidak pernah mengalami zaman itu, ketika slogan menjadi gaya hidup kita.

Setiap kurun waktu sejarah mempunyai mitos-mitos dan slogan-slogannya sendiri. Di bidang slogan, barangkali paling kaya ialah semasa Orde Lama.

Sampai-sampai ada orang asing yang membuat teori bahwa barangkali orang Indonesia sudah kembali lagi ke alam primitif, yang mempercayai bahwa kata-kata mempunyai kekuatan magis atau gaib.

Sama halnya seperti orang yang percaya akan kekuatan rapal atau mantra, yang berkhasiat menyembuhkan suatu penyakit.

Kalau kita mengenang kembali masa silam, itu tidak berarti bahwa kita ingin kembali ke masa itu, sesuatu yang tak mungkin.

Baca juga: Slogan Hanya Berisi Kata-kata Sampai Suatu Saat Kita Termakan Sendiri oleh Kata-katanya

Barangkali kita juga menjadi geli bercampur sedih, betapa hampir semua orang ikut-ikutan latah. Bagi yang tidak mengalami, bisa merupakan pelajaran, agar jangan sampai terjerumus dalam alam lambang dan semboyan hampa di masa mendatang.

Slogan mulai tumbuh sesudah tahun 1960. Salah satu di antaranya Ho lopis kuntul baris! Sebenarnya bukan ciptaan baru, tetapi sudah lama sekali dikenal orang Jawa.

Apa tepatnya artinya, tidak jelas. Hanya kita ketahui bahwa seruan itu diserukan beramai-ramai kalau orang bersama-sama mengerjakan sesuatu yang berat, misalnya mendorong benda besar dan berat. Konon seruan itu bisa mendatangkan kekuatan tambahan.

Istilah itu dipopulerkan kembali oleh almarhum Presiden Soekarno dalam beberapa pidatonya. Maksudnya agar rakyat menggalang kekuatan bersama secara gotong-royong.

Sejalan dengan itu orang dianjurkan ber-cancut taliwondo, yang artinya kurang lebih menyingsingkan lengan baju untuk bekerja keras. Arti harfiahnya ialah menyingsingkan dan mengikat kain yang dikenakan agar tidak menghalangi pemakainya bekerja.

Baca juga: Dalam Perang Brutal Ini, Ratusan Ribu Prajurit Kehilangan Nyawa Gara-gara Slogan Para Jenderal

Apa tujuan kerja keras? Menurut para pemberi amanat, untuk mencapai gemah ripah loh jinawi. Biasanya disambung dengan kalimat toto tentrem karto rahardjo, yang dimaksud ialah masyarakat adil makmur dan negara yang aman sentosa, biasanya diucapkan ki dalang dalam pelukisannya tentang negara ideal dalam pewayangan.

Istilah plin-plan juga muncul dalam tahun-tahun enampuluhan, yang merupakan kependekan dari istilah Jawa plintat plintut, yang artinya tidak tegas, tidak konsekwen, ragu-ragu atau mudah beralih tujuan. Istilah sinonimnya ialah mencla mencle atau plungkar plungker.

Dalam kenyataannya, istilah plin-plan dipakai untuk mencap golongan atau perorangan yang tak disukai oleh golongan yang berkuasa atau pendukungnya.

Orang yang dicap begitu lalu diancam untuk diritul alias digeser atau dicopot dari kedudukannya. Kata ini berasal dari kata Inggris retool, yang arti sebenarnya ialah melengkapi dengan alat atau mesin-mesin baru, terutama untuk pembuatan produk-produk baru atau yang diperbarui.

Tahun 1964 pidato tujuhbelasan Ir. Soekarno diberi judul "Tahun Vivere Pericoloso", dengan maksud hidup berani, tidak segan menghadapi bahaya, terutama menghadapi "nekolim" (neo-kolonialis/imperialis) atau Oldefos (Old established forces) yakni negara-negara blok Barat yang dianggap musuh.

Baca juga: Lee Kuan Yew: Komunis di Singapura Tumbang karena Rakyat Butuh Kesejahteraan, Bukan Slogan dan Pidato

Vivere pericoloso sebenarnya salah kutip dari bahasa Italia Vivere pericolosamente. Dari situ timbul istilah "Tavip" atau singkatan judul pidato tadi, yang menjadi sangat populer, sehingga ada nama Jalan Tavip atau perusahaan bis Tavip dan sebagainya.

Berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri adalah sesuatu yang baik kalau diterapkan dengan benar-benar. Tetapi sebagai slogan hampa waktu itu hanya dipakai untuk menutup diri dari dunia luas dan menutupi kemerosotan ekonomi.

Demikian pula istilah swasembada yang berhubungan dengan itu. Swasembada yang artinya mencukupi kebutuhan sendiri, akhirnya juga menjadi petani hampa karena tidak disertai dengan penanganan serius di bidang pembangunan.

Dalam usaha berdikari, tidak tergantung dari dunia luar, rakyat dianjurkan untuk bekerja keras, berholopis kuntul menaikkan produksi. Untuk itu para pejabat dianjurkan melakukan gerakan "turun ke bawah" atau turba.

Tetapi kenyataannya ialah bahwa para pejabat hanya melakukan piknik ke daerah-daerah dengan minta "dijamin" oleh orang daerah. Tidak mengherankan bahwa mulut iseng lantas memberi arti lain kepada istilah turba itu.

Baca juga: Ini Slogan Kemenangan Setiap Tim Peserta Piala Dunia 2014

Dalam pertengahan tahun enam puluhan itu istilah paling pop ialah "ganyang". Ganyang ini, ganyang itu, apa saja yang tak disukai.

Generasi muda waktu itu menjadi sasaran kampanye anti Barat (dalam rangka berdikari di bidang kebudayaan) musik ngakngik-ngok dan cengeng (musik rock dan sebangsanya serta lagu-lagu pop Barat), ganyang rambut sasak, gaun you can see, celana jeans ketat atau rok ketat.

Sampai-sampai polisi dan tentara turun ke jalan untuk mentertibkan anak-anak muda yang "kepala batu."

Sejalan dengan "berdikari" diciptakan istilah banting stir atau "bastir." Maksudnya berani mengambil tindakan-tindakan drastis dalam menjalankan bahtera revolusi. Tetapi sayang akhirnya stirnya dibanting ke kiri terus, sehingga menimbulkan tragedi nasional tahun 1965.

Waktu Pemimpin Besar Revolusi mengamanatkan tentang "romantika, dialektika dan dinamika revolusi," banyak orang menjadi latah. Contohnya terbaca dalam sebuah harian ibukota yang terbit bulan Juli 1965 sebagai berikut:

"Doktrin revolusi pun dapat diterapkan dalam bidang lalu lintas. Lalu lintas mengenal romantika, dinamika dan dialektika revolusi. Dinamika gerak hilir mudik kendaraan penyalur komunikasi antara semua pihak pemakai jalan itu.

Romantika terlukis dalam pasang surutnya kesibukan lalu lintas. Antara ketiga unsur itu ada pertautan. Jika dialektika seru, maka dinamikanya ramai, romantikanya pun hangat."

"Wah!".

(Ditulis oleh Siswadhi. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1982)

Baca juga: Kisah Di Balik Kata-kata 'Oh My God', Ternyata Jauh Dari Makna Yang Kita kenal

Artikel Terkait