Tak Hanya Dipuji dan Dicaci, Lady Gaga juga Wajib Dipelajari

K. Tatik Wardayati
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Lady Gaga
Lady Gaga

Intisari-Online.com –Terlepas dari kontroversi-kontroversi yang, entah disengaja atau tidak, sosok Lady Gaga sebenarnya menyimpan berbagai hal yang patut kita pelajari sebagai manusia. Apalagi, beberapa tahun lalu, kehadirannya sempat menjadi fenomena musik dunia. Sehingga tidak hanya layak dipuji (oleh penggemarnya) atau dicaci (oleh pembencinya), Lady Gaga juga jelas wajib dipelajari.

--

"Just Dance” ditulis oleh Gaga hanya dalam waktu sepuluh menit. Lagu celotehan orang mabuk itu dibawakan dalam beat yang ringan dan gembira.

Kepada Majalah HX, ia bicara soal lagu itu, “Kalau Anda pernah mabuk, begitu mabuknya, ya dibawa berdansa saja … Seperti ketika di dalam hidup Anda menjumpai masalah, hadapi saja dengan berdansa.”

Sepertinya dengan berdansa pula lagu itu, single yang ada di album pertamanya, The Fame (2008) menjadi salah satu single terlaris di dunia. Dari The Fame sendiri, Gaga memenangi Grammy Award-nya yang pertama untuk Best Dance Recording dan Best Dance/Electronics Album. Itulah awal dari “serbuan” Lady Gaga di industri musik dunia. Tak mau ketinggalan momentum, ia menggelar The Fame Ball Tour sejak Maret sampai September 2009, yang membuat The Fame terjual lebih dari 15 juta kopi di seluruh dunia.

Anak susteran

Siapa mengira perempuan yang “liar dan urakan” di panggung itu adalah produk keluarga mapan di New York. Lahir sebagai Stefani Joanne Angelina Germanotta (28 Maret, 1986), putri sulung dari dua bersaudara, dengan ayah wirausaha internet dan ibu karyawan di bidang telekomunikasi.

Keluarga Germanotta punya akar Italia dan sedikit Prancis Kanada, makanya ia disekolahkan di sekolah susteran. Sebagai keluarga pekerja kelas atas, keluarga itu mampu tinggal di wilayah elite, Upper West Side, Manhattan.

Sejak usia sebelas tahun sampai lulus SMA ia bersekolah di Convent of The Sacred Heart (Biara Hati Kudus). Ini sekolah katolik khusus perempuan yang paling tua, paling selektif dan paling mahal di Manhattan. Kata Gaga, “Saya suka diolok-olok (di sana) lantaran terlalu provokatif atau nyentrik .... Saya tak punya teman, merasa seperti anak yang aneh.” Meski pengakuan itu agak lebay, karena dalam ingatan beberapa temannya, Gaga murid yang pandai dan cukup punya teman-teman dekat.

Musikalitas Gaga sebenarnya sudah tampak sejak usia balita. Usia empat tahun mulai belajar main piano, dan usia 13 tahun menulis balada pertamanya untuk piano yang berjudul “To Love Again”, dan sudah mulai tampil di kesempatan-kesempatan “Open Mike Nights” di panggung-panggung kelab malam secara gratis setahun kemudian. (Bayangkanlah, ketika itu ia juga siswa sekolah susteran).

Lulus SMA, Gaga diterima di Collaborative Arts Project 21 (CAP21), sebuah konservatorium teater musikal untuk pelatihan yang bernaung di bawah Tisch School of the Arts-nya New York University. Ia termasuk satu dari 20 anak yang diterima awal. Tapi di luar kesibukan di CAPS21, ia juga coba-coba audisi di luaran dan berhasil muncul di beberapa show. Gaga rupanya memang cerdas dan berbakat. “Begitu mengetahui caranya berpikir tentang seni, selanjutnya kita dapat belajar sendiri,” katanya.

Passion dan energinya serasa akan meledak. Tak sabar dikungkung dalam ruang kelas, pada semester kedua tahun kedua di CAPS21, usia 19 tahun, ia keluar dari CAPS21. Ayahnya setuju menanggung sewa apartemennya selama setahun, tapi dengan syarat ia harus mau mendaftar kembali ke Tisch bila gagal.

“Musim panas 2005 saya tinggalkan keluarga, mencari apartemen paling murah di Rivington Street (tempat komunitas seniman dan artis), dan makan seadanya sampai ada orang yang mau mendengarkan (saya),” tuturnya.

Menciptakan lagu untuk Britney

Kisah Gaga selanjutnya seperti cerita klasik tentang meniti karier di industri musik Amerika Serikat yang kompetitif dan kejam. Sempat membentuk SG Band (singkatan Stefani Germanotta Band) yang menghasilkan dua album, Gaga kemudian bekerja sama dengan eksekutif produser bernama Vincent Herbert. Kerja samanya dengan Herbert itulah yang mempertemukannya dengan Akon, penyanyi hip hop terkenal, yang amat meyakini bakat Gaga. Gaga akhirnya dikontrak oleh perusahaan rekaman Interscope.

Tahun 2008, ia pindah ke Los Angeles untuk konsentrasi penuh menggarap album pertamanya, The Fame. Dan selanjutnya, karier Gaga bergulir macam bola salju, yang gelindingannya kian hari kian kencang dan membesar.

Gaga jelas tak puas hanya menjadi penyanyi rekaman yang sukses. Seorang kritikus musik, di Wall Street Journal menyebut salah satu kostum panggungnya membuat dia seperti pengungsi dari luar angkasa. Lewat tim kreatifnya di Haus of Gaga, ia selalu menampilkan konsep panggung yang matang dan mengejutkan. Katakanlah dalam acara Grammy Awards 2011, ia “menetas” dengan sangat dramatis dari sebutir telur raksasa. Pernah juga ada sarang burung menempel di kepalanya.

Alice Cooper, rocker gaek yang di masa jayanya di tahun ‘70-an memperkenalkan aksi teatrikal “horror” untuk musik heavy metalnya, berkomentar, “Dia sungguh seorang penghibur. Tetapi segala kenyentrikan Gaga di panggung (bisa) disukai orang, pertama-tama karena dia memang bisa menyanyi.”

Artikel Terkait