Intisari-Online.com - Proses penurunan tanah di Jakarta semakin mengerikan. Bahkan, kawasan Senayan makin ambles. Akibat pembangunan gedung-gedung tinggi, penurunan tanah (land subsidence) setiap tahun mencapai 20 sentimeter.
"Di Jakarta itu paling parah adalah land subsidence atau penurunan muka tanah. Di Senayan ada sekitar 20 sentimeter per tahun. Ini karena banyaknya gedung tinggi membuat tanah turun," ujar Direktur RUJAK Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, di Hotel Le Meridien Jakarta, Senin (21/11/2016).
Kondisi mengkhawatirkan tersebut membuat Elisa bertanya-tanya apakah Jakarta membutuhkan gedung-gedung tinggi.
Pasalnya, berdasarkan data CTBUH, Jakarta menjadi kota yang paling banyak memiliki gedung setinggi 200 meter atau lebih pada 2015 dengan jumlah 7 gedung.
Total tinggi dari 7 gedung di Jakarta itu mencapai 1.588 meter. Posisi tersebut mengungguli Nanjing, Nanning, dan Shenzhen di China yang ada di posisi kedua dengan masing-masing 5 pencakar langit.
Selama tahun 2015 silam, Jakarta berhasil melakukan penyelesaian 9 gedung dan membuatnya menempati posisi kedua sebagai negara dengan penyelesaian gedung terbanyak.
Penggunaan energi berlebih dan emisi karbon dioksida yang dihasilkan gedung-gedung tinggi kemudian juga menjadi masalah berikutnya yang berdampak global.
Mengutip data American Institute of Architecture (AIA) pada 2010, Elisa menyebutkan, gedung-gedung tinggi tersebut mengonsumsi energi hingga 47,6 persen.
Sebanyak 75 persen listrik yang dihasilkan di Amerika Serikat (AS) pada periode tersebut diserap gedung-gedung tinggi, sedangkan 25 persen sisanya didistribusikan ke sektor-sektor lainnya.
"Pada saat bersamaan, emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari gedung-gedung tinggi bisa mencapai 44,6 persen, lebih besar dari transportasi yang hanya menyumbang 36 persen," tutup Elisa.