Intisari-Online.com- Hari itu, bandara cukup ramai. Di pintu kedatangan, seorang profesor berdiri tegak. Kali ini, ia di undang oleh sebuah basis militer untuk berbicara tentang kehidupan.
Tidak lama seorang prajurit mendatanginya. Ia berkata bahwa ia ditugasi menjemput profesor ke markas. Anehnya, selama dari pintu kedatangan sampai menuju mobil si prajurit sering menghilang.
Profesor tersebut hanya memerhatikan aksi prajurit dari jauh. Seperti membantu seorang wania tua yang kopernya terjatuh. Menggendong anak kecil yang ingin melihat pesawat lepas landas. Sampai membantu pasangan asing yang tersesat di area bandara.
Setiap kali ia selesai melakukan itu semua, ia berdiri di samping profesor sambil tersenyum.
Ketika keduanya dalam mobil. Si profesor bertanya, “Dari mana kamu belajar hal-hal seperti itu?”.
“Oh, selama perang profesor,” jawab si prajurit. Ia pun menceritakan apa saja tugas yang ia lakukan selama di medan perang. Ketika ia diminta melewati ladang ranjau. Bagaimana ia menyaksikan satu persatu temannya tewas di depan matanya.
“Apa pelajara terbesar yang kamu ambil?” tanya profesor lagi.
“Saya belajar untuk hidup di setiap pijakan yang saya langkahi. Saya tidak pernah tahu apakah langkah selanjutnya merupakan pijakan terakhir saya apa tidak. Sehingga saya belajar untuk melakukan yang terbaik. Entah untuk diri saya sendiri ataupun untuk orang lain,” jawabnya tenang.
Profesor tersenyum. “Sepertinya saya tidak perlu mengajarkannya. Kau sudah mengerti arti kehidupan,” balas profesor sambil bercanda. Sementara si prajurit hanya tertawa.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Bergerak mundur bukanlah jawabannya. Setidaknya kita mencoba untuk maju.
Segala kebaikan tidak ditentukan dengan berapa lama kita hidup, tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas.
Penulis | : | Mentari Desiani Pramudita |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR