Intisari-Online.com -Masih banyak orang miskin di Jakarta. Berdasarkan data terpadu penanganan fakir miskin di Kota Jakarta Selatan saja, setidaknya terdapat 36.811 rumah tangga sasaran dan 144.986 jiwa yang masih memerlukan bantuan pemerintah. Sebagian mereka masuk kategori desil 1 atau rumah tangga dan individu dengan kondisi kesejahteraan 10 persen terendah di Indonesia.
Sementara untuk Jakarta secara menyeluruh, data Badan Pusat Statistik menyebutkan, jumlah penduduk miskin Jakarta pada September 2016 mencapai 368.670 orang atau 3,61 persen dari total seluruh penduduknya. Sementara pada Maret 2016, jumlah penduduk miskin Jakarta meningkat menjadi 384.300 orang alias 3,75 persen warga Jakarta. Itu artinya, ada peningkatan sekitar 15 ribu orang yang hidup di bawah garis kemiskinan--terlepas bahwa data ini dipertanyakan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidaya.
“Saya melihat masalah kemiskinan itu sejatinya adalah masalah mindset, cara pandang,” ujar Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Kota Jakarta Selatan, Kelik Miyarto.
Cara pandang yang dimaksud di sini, menurut Kelik, adalah cara pandang dan etos kerja masyarakat yang lebih cenderung konsumtif ketimbang produktif. Kelik mencontohkan banyaknya pedagang yang belum mengatur keuangan dengan baik. Ia juga mengatakan dengan banyaknya bantuan yang diterima masyarakat Jakarta, harusnya angka kemiskinan semakin menurun.
Baca juga:Dianggap Menutup Lapangan Kerja, Pengendalian Tembakau Ternyata dapat Turunkan Angka Kemiskinan
“Ada KJP, BOP, dan BOS untuk pendidikan, ada BPJS untuk kesehatan, ada bis sekolah gratis, rumah susun, dan bantuan pemerintah pusat seperti Jamkesmas, raskin, dan banyak yang lain. Meski saat ini diakui masih kurang sinergi antar SKPD yang menjalankan,” kata Kelik, seperti dilansir dari Kompas.com.
Terlepas perdebatan mengenai bantuan langsung tunai (BLT) antara para cagub-cawagub DKI, Kelik meyebut bahwa program serupa masih dijalankan Pemprov DKI Jakarta.
Program tersebut adalah Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) disebut pertama digagas saat krisis moneter melanda Indonesia pada medio 1998. Pemprov DKI saat itu menganggarkan dana untuk tiap kelurahan yang bisa jadi sumber permodalan untuk masyarakat.
Harapannya, masyarakat bisa memulai usaha dengan uang tunai yang diberikan. “Waktu itu siapa aja mau pinjam ya dikasih, tapi kemudian banyak yang dipakai tidak sesuai peruntukannya maka disetop,” kata Kelik.
Baca juga:Restoran di India Ini Menyediakan Kulkas di Jalan Supaya Orang Miskin Bisa Mengambil Makanan Gratis
PPMK kini masih dianggarkan, namun hanya diberikan di 230 kelurahan dari 267 kelurahan di Jakarta. Untuk kelurahan yang tidak ada rumah tangga dan individu miskinnya seperti Melawai dan Senayan, tidak lagi dikucurkan dana PPMK.
Dengan besaran antara Rp100 juta hingga Rp325 juta, anggaran PPMK kini tidak diberikan cuma-cuma, melainkan bina fisik untuk membangun sarana umum, bina sosial untuk pelatihan keterampilan, dan bina ekonomi untuk permodalan usaha. “Ada banyak bantuan yang bisa dioptimalkan, yang menjadi tugas adalah mengubah mindset masyarakat untuk mau kerja,” ujarnya.