Intisari-Online.com – Setelah melakukan proses pembuatan guci dan tanah liat, tahap selanjutnya yang dilakukan pengrajin adalah pembakaran hasil karyanya itu. Setelah proses pembakaran selesai, tahap selanjutnya adalah melukis semua guci yang telah kering. Saat sedang melukis guci-guci tersebut, pengrajin merasa punggungnya terlalu pegal dan ia ingin sekali berhenti sejenak untuk meluruskan punggung. Maklum, sang pengrajin telah berusia 50 tahun. Ia tidak bisa duduk dalam waktu yang lama.
Ia pun bangun dan berdiri sambil meluruskan punggunya. Beberapa saat berdiri, ia ingin sekali keluar untuk memperoleh udara segar. Namun, nahas tidak dapat dihindari. Ketika melangkah untuk menyimpan cat yang digunakan untuk melukis, kakinya tersangkut pada seutas tali di sekitarnya. Pengrajin itu pun terjatuh. Ketika terjatuh, cat dengan wadahnya terlepas dari genggamannya dan terlembar beberapa meter ke depan. Alangkah kagetnya ia, karena tumpahan cat mengenai beberapa guci yang telah dibakar dan siap untuk dilukis.
Ia menjadi sangat marah dengan kecelakaan yang membuatnya menumpahkan cat. Ia marah terhadap dirinya sendiri karena tidak berhati-hati.
Di luar, rasa kesalt erus menghantuinya. Rasa kesalnya tidak semakin mereda, tetapi justru semakin bertambah. Karena tidak bisa lagi menahan emosi, ia mengambil salah satu guci kemudian membantingnya ke tanah hingga hancur.
Setelah emosinya mereda, ia membersihkan serpihan guci yang ia pecahkan. Tiba-tiba, ada seorang turis mancanegara masuk ke ruang pamerannya. Turis itu berkeliling, sambil melihat-lihat hasil karyanya. Tidak lama kemudian, ia menghampiri guci yang terkena tumpahan cat, lalu berkata, “Wow… ini bagus sekali. Berapa harganya?”
Pertanyaan turis itu membuat pengrajin heran. Namun, ia menjawab, “Maaf, yang itu tidak dijual.”
“Berapa pun harganya, pasti saya bayar. Guci itu indah sekali,” kata turis itu.
Karena turis tersebut terus mendesak, pengrajin itu pun mengalah dan menjual guci-guci tersebut. Pengrajin lebih kagel lagi karena turis tersebut memborong semua guci yang terkena tumpahan cat. Sejak kejadian tersebut, sang pengrajin tetap melukis gucinya dengan cara tradisional, tetapi ada sebagian guci yang dicat dengan cara melemparkan catnya. Para peminat guci yang dicat dengan cara lempar adalah para turis mancanegara.
Setiap kesuksesan tidak pernah terlepas dari kesalahan, sekecil apa pun itu. Orang-orang sukses adalah mereka yang pernah melakukan kesalahan. Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak pernah melakukan kesalahan, karena tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang mendekati kesempurnaan apalagi sempurna. Hanya Pencipta Alam Semesta ini yang empunya segala kesempurnaan.
Jangan berkecil hati saat secara tak sengaja melakukan kesalahan dalam berbisnis. Kemungkinan membuat kesalahan selalu ada, meskipun kecil. Membuat kesalahan merupakan hal baik karena masih ada kesempatan untuk memperbaiki menjadi benar. Dari kesalahan itu, kita mungkin dapat menghasilkan suatu keunikan yang membedakan produk kita dengan produk lain. Bersukacitalah saat melakukan kesalahan karena di balik itu semua ada kesempatan kedua untuk memperbaikinya menjadi lebih baik.
Saat melakukan kesalahan, bersikaplah terbuka dan jujur, kemudian pelajari dengan baik apa penyebab kesalahan tersebut. Setelah menemukan titik kesalahan, belajarlah untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Ambil kesalahan sebagai guru bijaksana yang mengajari kita untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik. Bila kita mampu mengenali kesalahan, kebenaran akan terungkap.
Orang sukses selalu belajar dari setiap kesalahan yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Kita pun tidak boleh ragu, pesimis, atau bahkan menyerah saat menghadapi kesalahan. Kesalahan bukan untuk disesali maupun ditangisi, melainkan untuk dimanfaatkan, dipelajari, dan disempurnakan.