Intisari-Online.com -Benar kata orang, kesabaran ada batasnya. Sudah lima tahun Humaida mengalami koma dan tak berdaya di bangsal Rumah Sakit Umum daerah Panglima Sebaya, Tana Grogot, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Yang bisa ia lakukan hanya menggerakkan matanya.
“Sinar matanya juga tidak menunjukkan komunikasi. Bola matanya hanya bisa bergerak naik atau turun,” kata Ahmad Januar As'hari, putra sulung Humaida, Rabu (26/10).
Saban hari Humaida terbaring atau didudukkan di bangsal RSUD Grogot. Pada tubuhnya menempel selang melalui lewat hidung, tenggorokan, hingga lambung. Tiap tiga jam sekali, ia menerima asupan cair yang dimasukkan ke lambungnya dengan cara disuntikkan melalui selang itu.
“Sehari bisa habis tujuh mangkuk makanan,” kata Januar.
Keluarga mana yang tega melihat salah satu anggotanya seperti itu setiap hari? Terlebih, Ahmad Muntolib, suami Humaida, sudah menghabiskan hartanya untuk mengembalikan kesehatan istrinya. Tak hanya itu, ia juga harus menungguinya, mengganti popoknya, dan memandikannya. Anak-anaknya yang masih kecil terpaksa ia titipkan ke keluarga terdekat.
Waktu terus berjalan, Muntolib dan anak-anaknya menunggu kepastian bagaimana istrinya bisa kembali tersenyum dan hidup bahagia. Kini mereka hidup dengan mengandalkan surat keterangan tidak mampu (SKTM). “Biaya yang kami keluarkan bisa Rp 1 juta setiap bulannya untuk keperluan ibu kami,” kata Januar.
Meski demikian, Januar tak pernah berhenti mencari cara supaya ibunya segera pulih. Ia berharap ada dokter atau rumah sakit mana pun yang bisa mengobati sang ibu.
Sedikit mundur ke belakang, Humaida jatuh sakit setelah melahirkan anak kelima di Klinik Muhammadiyah, Paser, pada 2011. Dua jam seusai melahirkan secara normal, ia menjalani operasi steril di klinik yang sama.
Tak lama setelah operasi, ia mengalami kejang-kejang, mendengkur, dan kini malah tidak bergerak sama sekali, kecuali bisa membuka dan menutup mata. Sejak itu, ia mengalami koma.
Beragam cara dilakukan keluarganya untuk kesembuhan Humaida. Klinik Muhammadiyah, rumah sakit, dan banyak dokter spesialis seolah angkat tangan. Pengobatan sekelas Rumah Sakit Kanudjoso Djatiwibowo di Balikpapan pun tak membuahkan hasil.
Jalan terakhir, Humaida pun dibawa ke RSUD Grogot. Ia kini hanya bisa dirawat di RSUD Grogot dengan kartu SKTM. Sempat dirawat di kelas 3, ia kemudian dipindah ke ruang VVIP.
Akhir Oktober 2016 ini, Januar memperjuangkan kesembuhan sang ibu dengan menyampaikan tuntutan ke Pengurus Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta. Ia meminta bantuan kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Sikap Balikpapan, Ebin Marwi.
Ebin mengatakan, keluarga Humaida telah memasuki fase frustrasi setelah berkepanjangan tidak menemukan kejelasan bagi kesembuhan Humaida akibat tidak ada lagi pengobatan.
Melihat kondisi ini, mereka kini tengah mempertimbangkan untuk mengajukan fatwa suntik mati bagi Humaida kepada Mahkamah Agung. “Bila negara tidak memberi jaminan bahwa akan ada pengobatan atau tim atau apa pun untuk Humaida, maka keluarga akan pertimbangan mengajukan fatwa eutanasia,” kata Ebin.
Ibu Humaida bukan yang pertama
Pengajuan suntuk mati untuk Humaida bukan yang pertama di Indonesia? Masih ingat kasus Ryan Tumiwa? Laki-laki lulusan S-2 Universitas Indonesia ini menjadi perbincangan setelah meminta Mahkamah Konstitusi melegak suntik mati sebagai upaya bunuh diri. Ryan sendiri mengaku ingin melakukan suntik mati lantaran setres sebab tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Sebelumnya ada Ny Again (Agian Isna Nauli)yang diajukan suaminya, Hasan Kusuma, ke pengadilan supaya disuntik mati. Ny Again tak sadarkan diri setelah melahirkan melalui operasi caeras di di sebuah rumah sakit di Bogor pada Agustus 2008 silam.
Suntik mati alias eutanasia merupakan praktik pencabutan nyawa seseorang atau hewan melalui cara yang diangap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit minimal. Praktik ini bisanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Praktik ini punya aturan sendiri di tiap-tiap negara, tergantung dengan norma dan budaya setempat.Di beberapa negara, eutanasia diperbolehkan, sementara di negara lain praktik ini adalah ilegal. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
Sementara di Indonesia, praktik ini masih menjadi kontroversi. Kalangan ulama, melalui Majelis Ulama Indonesia, sendiri melarang dilakukan suntik mati—dengan catatan, boleh dilakukan untuk kondisi sangat mendesak. Eutanasia dalam keadaan aktif maupun pasif, menurut fatwa MUI yang dilansir Nu.or.id pada Oktober 2004, tidak diperkenankan karena sama dengan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Hukum positif pun belum secara eksplesit mengaturnya--terlepas dari masih banyaknya pihak yang menetang praktik ini.