Ingin Memikat Hati Anak, Contek Cara Mendiang Pak Kasur Ini!

K. Tatik Wardayati
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Pak Kasur
Pak Kasur

Intisari-Online.com – “Ogah Bu, Ida ogah pulang. Ida senang di sini!" Sabtu sore itu Ida baru saja selesai mengikuti permainan Kebun Taman Kanak-kanak Pak Kasur di Kompleks Perumahan Panitia Sensor Film, Jalan Haji Agus Salim, Jakarta.

Permainan sudah selesai, tetapi Ida tetap emoh pulang, demikian juga beberapa temannya yang lain. Anak-anak kecil tersebut lebih betah tinggal bersama Pak Kasur. Malam harinya ibu anak-anak itu mencoba membujuk lagi, tetapi tetap sia-sia.

Satu kesan mendalam dari kegiatan Pak Kasur yang tak dapat dilupakan oleh Bu Kasur. Tuturnya, "Yah, kadang-kadang kami tak kebagian tempat tidur, lalu ramai-ramai menggelar tikar di atas lantai. Sebelum pergi tidur, anak-anak disuruh cuci kaki dan pipis."

Sahut mereka, "Tapi Pak Kasur juga. Pak Kasur pun menurutinya karena bagi anak-anak contoh lebih termakan daripada kata-kata belaka."

Kejadian tersebut berlangsung sekitar '52 - '53. Di antara anak-anak itu sekarang banyak yang sudah besar, termasuk Guntur, Megawati dan adik-adiknya yang oleh Mualif Nasution, sekretaris Bung Karno, diantarkan mengikuti Kebun Kanak-kanak, asuhan Pak Kasur.

"Baru-baru ini kami menerima surat dari Brasil. Isinya, Ibu dan Pak Kasur, masih ingatkah kepada saya? Sekarang saya berada di Buenos Aires mengikuti Mas yang menjadi Atase Militer di sini." Ibu Kasur menyatakan, "Saya selalu terharu menyaksikan anak-anak menjadi dewasa dan masih ingat kepada kami."

Tetapi, kecemasan pun pernah dialami. Sebuah majalah menulis artikel tentang cross-boys secara kejam. Pemuda-pemuda tanggung tersebut protes. Berbondong-bondong mereka datang ke rumah Pak Kasur.

"Bagaimana Pak, kami dihina begini? Akan kami bakar saja kantor majalah itu."

Sahut Pak Kasur tenang, "Jadi kamu tidak menerima tuduhan majalah tersebut? Itu baik. Tetapi kalau kamu main bakar, tentu mereka akan lebih mengecam kalian. Lagi pula dengan membakar itu, sudah jelas kamu sekalian sungguh-sungguh cross-boys yang tidak keruan.

"Habis bagaimana, Pak?" Nada suara mereka mulai reda.

"Kita ambil jalan bijaksana. Mari saya antarkan ke Kotapraja. Kita selesaikan di sana."

Adegan-adegan semacam itu merisaukan hati Bu Kasur, karena anak-anak tanggung tersebut ada yang membawa rantai sepeda, kraakling (besi tajam yang digenggam dan ditinjukan kepada lawan) dan sebagainya. "Kegelisahan jiwa mereka oleh Pak Kasur antara lain disalurkan melalui musik," sambung Bu Kasur.

Pernah juga seorang ibu pembesar datang dalam nada menuduh, "Pak Kasur, mana anak saya. Tadi ikut meninjau Studio Film Persari, sampai jam 8 malam belum juga datang." Padahal jam 2 siang, rombongan ke Persari sudah kembali. Jam 10 malam gadis itu datang.

Kepada ibunya dia tetap menyatakan ikut Pak Kasur. Malam itu juga dia di-konfrontir (dipertemukan) dengan pengurus rombongan. Barulah meledak tangis penyesalan gadis tanggung tersebut. la mengaku salah, membohongi orang tuanya.

Dalam siaran di TV diajarkan nyanyian Keranjang Sampah yang berisi: kalau makan pisang, kulitnya harus dibuang ke dalam keranjang sampah.

Sewaktu pisang masih murah, sambil bernyanyi anak-anak diberi pisang, dan benar-benar membuang kulit pisang ke keranjang sampah. Permainan dan nyanyian disertai perbuatan merupakan pendidikan yang konkrit. Ini salah satu dasar sistem pendidikan Pak Kasur melalui siaran anak-anak.

Atau nyanyian, Mana Bu, Sepatuku. Sudah kesiangan, sepatu yang satu tak juga ketemu. Karena itu kalau pulang sekolah, kedua belah sepatu harus disimpan baik-baik pada tempatnya.

Menurut penuturan ibu-ibu yang anak-anaknya ikut siaran Pak Kasur, siaran tersebut membawa hasil konkret. Kebanyakan anak-anak itu mempraktikkan ajaran dari siaran. Membuang kulit pisang di keranjang sampah, menyimpan sepatu pada tempatnya.

Tetapi ada juga anak yang mengadu, "Pak, Ibu tidak mau beli keranjang sampah." Bantuan orangtua tetap diharapkan, karena kewajiban mendidik pertama-tama adalah tugas mereka.

Ketika Pak Kasur masih duduk di Sekolah Guru HIK Bandung, di musim liburan dia pulang kampung ke Probolinggo, daerah Purwokerto. Di masa liburan itu pernah dia tirakat dengan tidur di kuburan. Malam hari dia bermimpi. Terdengar sayup-sayup suara, "Gembalakanlah kambing-kambing."

Pengalaman ini dituturkan oleh orangtua Pak Kasur kepada Bu Kasur disertai komentar, "Rupanya bukan kambing, tetapi anak-anak yang harus diasuh oleh suamimu." Pak Kasur sendiri, apalagi untuk publikasi, pantang sekali menceritakan sesuatu mengenai dirinya.

Dari kecil dia gemar bermain dengan anak-anak. Pilihannya memasuki sekolah guru bukan suatu kebetulan, melainkan berdasarkan kesadaran akan panggilannya sebagai pengasuh anak-anak.

Artikel Terkait