Intisari-Online.com – Di antara sekian banyak masakan khas Betawi, nasi uduk barangkali yang paling berkibar. Kelezatannya dianggap pas, tak hanya buat lidah orang Betawi. Tak heran, "tukang jualannya" kini menjamur. Hampir di setiap sudut jalan di ibukota, ada tenda penjual nasi uduk, bersaing dengan pedagang pecel lele. Awam pun keder, karena semua mengaku mengemas nasi uduk betawi.
Tentu saja tak etis menanyai para pedagang itu satu demi satu, apakah nasi uduk yang mereka jual memang mengacu pada resep asli betawi. Atau, apakah si pedagang asli orang Betawi. Bukannya dijawab baik-baik, bisa-bisa kita malah dimaki. Orang lagi jualan kok diinterogasi. Namun sebagai gambaran, menurut Hj. Sun'ah Andries, pakar makanan tradisional, nasi uduk betawi biasanya punya cita rasa sangat khas. Kekhasan yang hanya bisa dihayati orang Betawi.
"Nasi uduk betawi tak cukup hanya mengandalkan salam dan serai, mengolah santannya pun harus dilakukan dengan benar," bilang sesepuh Perkumpulan Wanita Betawi (PWB) dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) ini. Santan jangan sekadar dijadikan pelengkap, karena pengaruhnya besar dalam membentuk cita rasa. Hal itu, kata Sun'ah, sejalan dengan karakter orang Betawi yang menyukai makanan gurih, alias "berani santen".
Ibunda Deddy Mizwar (aktor terkenal asal Betawi itu) ini lalu menambahkan, nasi uduk betawi lazimnya diberi taburan bawang goreng, irisan telur, cabai merah, dan sambal kacang. Untuk menambah selera, sama seperti ketupat sayur, nasi uduk juga punya "musuh klasik".Yang paling seeing ditawarkan di kedai-kedai, misalnya ayam goreng, semur daging, empal, atau kombinasi tempe-tahu. Tak ketinggalan, potongan ketimun sebagai teman cocol sambal. Meski bukan pedoman mati, setidaknya keterangan Sun'ah bisa menjadi bekal, supaya enggak gampang keder.
Ude dari sononye
Jika poros Rawabelong – Kebayoran Lama dan sekitarnya dikenal sebagai "sentra ketupat sayur", bilangan Tanah Abang, tepatnya Jln. Kebon Kacang, adalah gudangnya kedai nasi uduk khas betawi papan atas. Bisa dilihat dari bercokolnya sejumlah "nama beken" di bidang pernasiudukan, seperti kedai "Babe Saman" dan kedai "Puas (Zainal Fanani)" yang sudah puluhan tahun menjajakan nasi uduk. Belum lagi warung-warung tradisional lain yang jualan tanpa papan nama.
Wajar jika kawasan yang dekat dengan Jin. M.H, Thamrin dan Jln. Jenderal Sudirman itu mendapat predikat heritage kedai nasi uduk. Meski, seperti juga misteri hubungan orang Rawabelong – Kebayoran Lama dengan keahlian mengolah ketupat sayur, sulit mencari tahu, mengapa orang Kebon Kacang identik sebagai pembuat nasi uduk jempolan. Jika ditanya pada para sesepuh, yang keluar paling-paling cuma jawaban pendek nan menggelitik, tapi tak pernah tuntas, "Wah, ude dari sononye kali ye."
Nasi uduk "Babe Saman", misalnya, kondangnya telah menyebar ke empat penjuru mata angin sejak bertahun-tahun silam. Sejak 1990-an, warung si Babe juga kerap dikunjungi selebritis. Walaupun si pendiri kedai, Babe Saman sudah meninggal beberapa tahun silam, nama besarnya tetap hidup di tangan anak-anaknya, yang juga ahli meracik nasi uduk. Kini, di kawasan Kebon Kacang saja mereka punya dua kedai.
Tradisi "buka malam" (mulai sekitar pukul 16.00 WIB) dan memasang tenda di depan los juga tetap dipertahankan. "Kalau artis sinetron yang pernah dateng ke sini, enggak keitung, Tapi kalo orang politik, yang sering saya lihat makan di sini, itu lo yang kepalanya putih, eh iya, Adnan Buyung Nasution," cerita seorang pemilik kios yang letaknya tak jauh dari kedai sang Babe.
Indra Surahman, mantan pengurus Lembaga Kebudayaan Betawi dan Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (Bamus), juga bersaksi nyaris senada. "Dulu, awal 1980-an, waktu saya SMA, nasi uduk Babe Saman ude beken, terus deh sampe sekarang. Malahan makin ke sini, kayaknya makin terkenal," ucap Indra, yang lahir dan besar di Gang Porra,Tanah Abang.
Nama besar dan sejarah puluhan tahun di dunia pernasiudukan, juga diandalkan Zainal Fanani, bos kedai nasi uduk dan ayam goreng "Puas". Zainal yang lahir tahun 1961 mengaku sudah membantu ayahnya, H. Abdul Hamid Toha, menjual nasi uduk sejak 1960-an. "Waktu itu kedai kami masih di depan Pasar Gandaria, Kebon Kacang," Zainal menerawang. Beberapa tahun kemudian, Abdul Hamid memindahkan usahanya ke tikungan Jin. Kebon Kacang I. Di tempat inilah kedai "Puas" mencapai puncak kejayaan.
Kemapanan itu sempat surut ketika sang Babe meninggal sekitar tahun 2000-an. Namun, Zainal dan saudara-saudaranya kembali bangkit. Kini, di ruko lumayan luas yang ditempatinya sejak 2001, Zainal Fanani bukan hanya menikmati kemapanan, tapi juga melebarkan sayap ke sejumlah tempat. "Saya libatkan anak-anak, supaya kelak mereka bisa nerusin, bahkan lebih membesarkan lagi nama Fanani."
Tamu-tamu yang datang ke kedai "Puas" bukan lagi "orang sembarangan". Sebagian besar bermobil dan berpenampilan keren. Rata-rata mereka sudah jadi langganan. "Tapi jangan salah, biar yang parkir di depan ruko banyak mobil mewah, harga nasi uduk saya tetap harga warung," sergahnya. Untuk amannya, siapkan dana antara Rp 10.000,- - 20.000,- per porsi nasi uduk. Itu angka standar, alias kalau tidak "kebablasan".
Bukan hanya nama besar dan sejarah masa lalu yang mereka jual. Kualitas nasi uduk pun harus tetap dijaga, seperti juga tradisi mengemas nasi dalam cungkup-cungkup kecil berbalut daun pisang. Selain unik dan terlihat eksotis, percaya atau tidak, cara seperti itu konon ikut andil memperlezat cita rasa nasi. Jika warung "Babe Saman" kini sudah harus mengandalkan anak-cucunya dalam meracik bumbu yang pas, kedai "Puas" kadang masih memaksa Zainal turun tangan.
"Untuk menjaga kualitas, sampai sekarang saya masih suka ngegoreng atau bikin sambel" bilang Zainal sembari membanggakan sambal kacangnya yang "enggak ngambang". Ketika ditanya rahasia kelezatan nasi uduknya, Zainal malah menyerahkannya pada mood. "Ngegoreng dan bikin sambel itu udah ada feeling-nya. Kalau mood lagi enak, hasilnya juga enak. Karena bumbunya 'kan sama aja. Beda lo, hasil gorengan orang yang atinya lagi seneng sama yang lagi marah," ujar "tukang ulek" yang sering terlihat ngobrol akrab dengan tamu-tamu kedainya ini.
Oh ya, buat yang ogah mampir ke bilangan Kebon Kacang, tetap banyak pilihan untuk menikmati nasi uduk yang tak kalah lezat.Tapi ya itu, jangan pedulikan apakah mereka mengikuti "pakem" betawi seperti yang dibilang Sun'ah Andries. Banyak juga kedai nasi uduk yang dikelola oleh bukan orang Betawi, tapi tetap diminati. Lagi pula, siapa bisa mengatur selera? (Ditulis oleh Muhammad Sulhi, dimuat dalam buku Yok, Makan Enak di Jabodetabek)