Intisari-Online.com -Mesin bus yang kami—rombongan Majalah Sedap dari Jakarta—tumpangi terus menderu kencang. Sementara bus berjalan pelan lantaran jalan menanjak, naik dan berkelok-kelok. Tujuan kami siang pertengahan September 2014 itu adalah Bumi Langit Institute yang terletak di Desa Giriloyo, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Dalam brosur yang tertulis, ini adalah sebuah tempat di mana kita dapat melihat dan belajar bagaimana pentingnya hubungan mutual antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya.
“Teman-teman, kita sudah hampir sampai di lokasi.” Tour guide memberi aba-aba melalui pengeras suara bus bahwa lokasi yang kami tuju sudah dekat. Sesampainya di Jalan Imogiri-Mangunan km 3, bus berbelok ke kiri, memasuki pintu gerbang sederhana dengan plang nama ala kadarnya. Dari tempat pemberhentian bus terakhir, kami masih harus berjalan naik ke halam utama. Jika ditarik garis lurus, kemiringannya sekitar 45º.
Seorang pria 60-an tahun, bersarung, hanya berkaos putih, berpeci dan berjenggot terawat, menyambut kami. Ia memperkenalkan diri dengan nama Iskandar Waworuntu. Pak Is—begitu ia biasa disapa—adalah pengelola sekaligus pemilik tempat ini. Dari nama dan wajahnya, Pak Is tentu bukan asli Bantul, tapi karena lamanya ia tinggal di kabupaten yang terletak di bagia selatan Yogyakarta itu, Pak Is begitu fasih menyapa kami dengan bahasa Jawa halus.
“Selamat datang. Pripun? Lancar toh perjalannya?”
Tidak hanya oleh Pak Is, rombongan juga dijamu dengan beragam hidangan khas Bumi Langit. Ikan patin dengan kuah asam sumatera, yang ikannya langsung diambil dari kolam Bumi Langit, nasi dari beras organis pecah kulit, keffir susu sapi, roti sorghum, wedang uwuh, dll. Satu hal yang menarik, dari penuturan Pak Is, bahwa semua hidangan itu dioleh dengan tidak menggunakan bumbu dan bahan pabrikan. Semua asli dari kebun belakang rumah.
Memaknai spiritualitas melalui makanan
Cerita bermula 13 tahun yang lalu. Pak Is yang campuran Manado-Inggris ingin mencari makna dalam kehidupan yang ia jalani, terutama dalam aspek spiritual. Secara lebih spesifik lagi, Pak Is menfokuskan diri pada makanan.
"Kerusakan yang kita lihat akhir-akhir ini, sebagian besar disebabkan karena kita salah makan,” argumen Pak Is. Ia lantas memutuskan untuk mencoba, daripada sekadar berbicara mengenai konsep, untuk memujudkannya dalam bentuk keseharian hidup.
"Kerusakan yang kita lihat akhir-akhir ini, sebagian besar disebabkan karena kita salah makan," Pak Iskandar.Menurut Pak Is, makanan itu memiliki beberapa dimensi. Yang pertama adalah dimensi rasa, yang meliputi rasa enak di mulut dan nyang di perut. Kedua adalah dimensi emosisonal; kita merasa puas ketika makan di restoran yang keren, meskipun secara rasa tidak enak dan secara nutrisi tidak enak.
Ada satu lagi dimensi makan yang jarang dibahas oleh banyak orang; bagi Pak Is, ini krusial, yaitu dimensi spiritual. Dalam arti, bagaimana makanan itu, selain memberi rasa kenyang, sehat, juga bisa menguatkan ruhani.
Pak Is yakin—sembari mengutip dari sebuah ayat dari sebuah kitab suci—ada rujukan paling pas mengenai semua peristiwa konsumtif: bahwa makanan tidak hanya harus halal, tapi juga baik. “Baik di sini tentu saja soal pengolahan, juga penyajian. Saya yakin, semua agama mengajarkan cara konsumsi yang seperti itu,” ujar Pak Is tegas.
Permakultur sebagai laku
Setelah hampir 13 tahun mencari cara yang paling tepat, akhirnya pria yang memiliki sebuah rumah makan di Bali itu menemukan satu kesimpulan: kenapa kita tidak meniru cara konsumsi yang dilakukan nenek-nenek kita dulu. Dari alam, oleh alam, untuk alam, yang terangkum dalam satu teknik pengolahan, permakultur.
Makanan yang baik harus dimulai dengan proses pengolahan yang baik juga. Oleh sebab itu, Bumi Langit Institute yang digagas Pak Is begitu getol untuk memperkenalkan sistem permakultur. Seperti yang dipaparkan oleh Khaerul Anam, salah satu pengelola Bumi Langit yang setahun belakangan ini ikut Pak Is, permakultur adalah proses pengolahan tanah melalui pendekatan lansekap dan kondisi tanah.
Secara konsep, permakultur adalah sebuah cabang keilmuan yang terkait dengan cara hidup yang kreatif dalam menjaga keseimbangan dan keindahan. Hubungan keseimbangan ini biasanya diterapkan dengan prinsip-prinsip perencanaan yang baik dan bijaksana, penggunaan sumber daya alam dengan sangat hati-hati, dan pendekatan yang beradab dengan menghargai semua kehidupan.
Dalam pola ini, manusia diajak untuk memenuhi kebutuhannya, di saat yang bersamaan harus memenuhi kebutuhan makhluk-makhluk lainnya. Yang paling penting, pola ini mencoba mengubah cara hidup konsumtif menjadi kreatif.
Seorang petani kerap memaksakan diri menanam singkong yang notabene adalah jenis tanaman yang banyak menyerap unsur hara. Tanah bekas singkong biasanya membutuhkan waktu agak lama untuk pulih dan bisa ditanami lagi. “Permakultur akan mengajak kita berpikir: menunda menanam singkong atau menggabungkannya dengan tanaman lain,” ujar Anam.
Agar tidak menjadi eksklusif, dalam penerapan pola permakultur dalam kehidupan sehari-hari, Bumi Langit Institute mengajak warga sekitar untuk belajar bersama-sama. Dari pemaparan Anam, ada tiga bentuk kerja sama yang dilakukan Bumi Langit dengan masyarakat: pertama, menjadikan warga sebagai pekerja. Di sana mereka akan belajar seperti apa sistem permakultur yang baik dan benar. Jika sudah mahir, mereka bisa mempraktikannya di lahan masing-masing.
Kedua, sistem kerja sama, khususnya bagi warga yang tidak punya lahan tapi ingin menerapkan pola permakultur. Mereka ini bisa menggarap lahan milik Bumi Langit, nanti setelah panen, hasilnya dibagi menjadi dua sesuai dengan kesepakatan awal.
Ketiga, membeli hasil panen dari masyarakat. Harga yang ditawarkan sebisa mungkin di atas harga pasar. “Kami tidak peduli dengan aturan harga pasar, karena sering kali harga pasar tidak sesuai dengan harapan para warga,” tegas Anam.
Satu lagi yang paling ditekankan dalam pola permakultur adalah tidak diperbolehkannya menggunakan pupuk dan pencegah hama buatan. Contoh paling gamblang; di beberapa sudut lahan tanaman palawija, ditanam bunga jengger ayam yang berfungsi sebagai pencegah hama alami. Menurut Anam, aroma dan warna bunga jengger ayam yang merah mencolok, bisa mengalihkan perhatian serangga. Pupuk yang digunakan juga alami. Misalnya, menggunakan kotoran kelinci yang sengaja dipelihara.
Ada juga pengolahan biogas memanfaatkan kotoran sapi yang ada di sana. Selain sebagai cadangan energi—penerangan dan listrik—sisa biogas yang sudah disuling sedemikian rupa juga biasa digunakan untuk menyiram tanaman di kebun-kebun olahan Bumi Langit.
Galeri dan pasar bernama Warung Bumi
Selain membuka pelatihan sistem pertanian permakultur, Bumi Langit Institute juga membuka warung makan, namanya Warung Bumi. Ini bukan sekadar warung, selain melayani pembeli yang datang saban hari, warung ini juga difungsikan sebagai galeri dan pasar.
Bisa dibilang, Warung Bumi adalah wajah dari seluruh kegiatan yang dilakukan oleh Bumi Langit. Bisa dibilang, bangunan Warung Bumi yang berbentuk pendopo, adalah bangunan utama tempat ini. Di dalam pendopo yang lumayan luas, biasanya dilangsungkan beragam kegiatan yang, menyambut kunjungan-kunjungan institusi luar, dan pastinya melayani pengunjung yang datang untuk makan.
Sebagai galeri karena Warung Bumi menyajikan produk-produk yang dihasilkan oleh Bumi Langit, seperti tempe/tahu koro goreng, nasi dari beras organik pecah kulit (unpolished), perkedel talas, dan roti sorghum. Ada juga beberapa olahan pangan lain seperti kefir dan kombucha (teh fermentasi) yang sangat bermanfaat untuk kesehatan.
Warung Bumi juga biasa dijadikan pasar warga sekitar yang ingin menjual produknya. Biasanya pembelinya adalah mereka yang mengunjungi Bumi Langit, baik untuk sekadar makan atau dalam rangka kunjungan resmi. Seperti siang itu, saat rombongan Majalah Sedap berkunjung ke Bumi Langit, ada beberapa warga sekitar yang menjualproduk hasilnya buminya kepada para pengunjung, salah satunya adalah selai nanas.
“Intinya, mengajak semua warga untuk mengakrabi alamnya lagi. Kita tahu kapasitas alam, lantas tidak belebihan menggunakannya,” tutur Pak Is memungkasi obrolan.