Intisari-Online.com – Sepulang sekolah, bocah yang sedih dan tak tahu mengapa nilainya bisa begitu buruk itu pergi menemui gurunya. Ia pun dipersilakan untuk duduk.
Sang guru bertanya, “Tahukah kamu mengapa saya memberikan nilai yang sangat buruk untuk tugas mengarangmu?” Sang anak hanya menggeleng dengan muka sedih.
Guru itu kemudian berkata, “Karanganmu itu sangat tidak realistis dan tidak melihat realita. Kamu tak punya uang dan berasal dari keluarga tidak mampu. Kamu tak punya pendidikan yang baik juga. Membangun peternakan itu butuh uang banyak. Kamu harus membeli tanah, membeli kuda, membeli makanan mereka, menggaji karyawan, dan sebagainya. Kamu tak akan bisa melakukannya! Terlebih lagi, nilaimu di sekolah juga tak bagus. Jika kamu mau memperbaiki tugas ini dengan harapan yang lebih realistism saya mungkin bisa mempertimbangkan ulang nilaimu.”
Setelah diceramahi oleh sang guru, anak ini pulang ke rumah dan berpikir keras. Ia pun bertanya pada ayahnya, “Yah, apa yang harus aku lakukan?” Sang ayah terdiam sejenak lalu menjawab, “Anakku, itu adalah impianmu. Ini adalah keputusanmu untuk hidupmu. Pertimbangkanlah baik-baik.”
Anak itu kemudian berpikir keras selama berhari-hari. Akhinya. Ia pun menemui sang guru lagi. Ia membawa tugas yang sama dan mengulurkannya pada guru tersebut sambil berkata, “Ibu bisa tetap memberi saya ‘30’ dan saya juga akan tetap menyimpan cita-cita tersebut.”
Bertahun-tahun berlalu, guru dan murid itu pun tak pernah bertemu lagi. Hingga suatu ketika sang guru ditugasi untuk mengawal anak-anak yang akan melakukan studi lapangan ke sejumlah tempat. Guru ini pun berangkat bersama siswa-siswinya.