Dengan ditemukannya penisilin oleh A. Fleming, manusia berpikir infeksi kuman telah terkontrol dengan baik. Sayang, harapan tinggal harapan karena kuman ternyata pandai menjadi "siluman" yang resisten terhadap antibiotik (AB). Hal ini menggerakkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS (Center for Disease Control and Prevention) pada 12 Juni 2000 membuat siaran pers berjudul "Resistensi Obat Mengancam Kemajuan di Bidang Kedokteran".
Di situ diungkapkan, " Dunia menghadapi situasi berbahaya karena obat-obat yang dahulu efektif telah semakin berkurang efektivitasnya. Kita menghadapi risiko kehilangan (golongan) obat penting dan kesempatan untuk dapat mengendalikan penyakit infeksi karena kuman semakin resisten."
Hampir semua jenis infeksi dewasa ini sebagian telah resisten terhadap AB. Celakanya, persentasenya terus meningkat. Sebagai contoh, pada penyakit tuberkulosis, radang paru-paru, malaria, dan AIDS. Sekitar 30% penderita yang diberi Lamivudine (AB baru yang ampuh) untuk hepatitis B, baru satu tahun pertama sudah menunjukkan resistensi.
Penyebab resistensi berbeda di masing-masing negara. Di negara berkembang resistensi dapat timbul karena penderita tidak mampu membeli obat cukup untuk menyelesaikan suatu rangkaian pengobatan. Tuberkulose, misalnya, harus diobati selama sedikitnya 6 bulan berturut-turut, kuman hanya mati sebagian, sementara yang masih bertahan malah menjadi resisten dan berkembang pesat.
Selain itu, resistensi kuman juga dapat disebabkan pemakaian AB yang berlebihan dimana AB digunakan tidak sesuai, untuk indikasi yang semestinya, entah itu pada manusia, ternak, atau untuk kepentingan pertanian. Di Indonesia, pemakaian AB yang salah untuk penyakit flu dan penyakit virus lainnya (menurut berbagai survei mencapai lebih dari 90%), telah membuat kuman menjadi resisten.
Apa pun penyebab resistensi, peningkatan frekuensi perjalanan antarnegara yang makin besar menyebabkan kuman yang sudah resisten itu, karena ditularkan oleh manusia, dapat berpindah dengan mudah pula.
Penggunaan antiseptik dalam berbagai produk (cairan kumur, sabun, losion kulit, cairan untuk mengepel lantai), semakin memperparah masalah resistensi ini. Adalah sangat irasional membunuh kuman di kulit dengan antiseptik karena kuman di kulit itu tidak patogen ("jahat"), dan setelah beberapa menit pun kuman akan kembali karena kuman ada di mana-mana. Sebenarnya, membersihkan kulit cukup dengna sabun dan air. Lagi pula antiseptik akan merangsang kuman menjadi resisten, seperti nyamuk disemprot insektisida setiap hari.
Menurut prakiraan, lebih dari 50% AB telah salah pakai. Di Indonesia, satu dari dua resep mengandung AB sendiri, padahal selain menimbulkan resistensi dan berkurangnya kekebalan tubuh, membeli AB sendiri sebenarnya meningkatkan biaya untuk plasebo yang sia-sia.
Berlawanan dengan yang terlanjur dipercaya banyak orang, AB tidak memprcepat penyembuhan penyakit flu atau mempercepat penurunan demam yang ditimbulkannya. Tenggorokan "merah" dan demam bukanlah alasan untuk segera diberikan AB. Di sisi lain AB menimbulkan banyak efek sampingan, seperti mual, diare, kadang-kadang justru demam (drug fever), dan berbagai komplikasi lain. Anak-anak yang sering mengonsumsi AB juga akan kehilangan kekebalan tubuhnya sehingga justru akan lebih sering sakit.
Karena itu, beberapa anjuran berikut ini rasanya patut mendapat perhatian: