"Sejak kemarin gigi saya bengkak Dok! Sakitnya bukan main, padahal sudah minum antibiotik. Kalau bisa, dicabut saja supaya nanti tidak sakit lagi," ujar seorang pasien dengan muka pucat dan pipi berkoyo.
Kasus sperti ini sering dihadapi dokter gigi. Pasien biasanya lebih dulu berusaha mengatasi sendiri dengan minum obat, misalnya. Setelah tidak berhasil, ia datang ke dokter gigi dan meminta giginya segera dicabut.
"Saya minta dicabut saja, Dok! Dulu gigi yang lain pernah dirawat saraf sampai lebih dari sepuluh kali, toh akhirnya dicabut juga. Mahal ongkosnya, Dok!" begitu sambungnya.
Meminta dokter gigi untuk segera mencabut gigi seperti dilakukan pasien itu memang jamak terjadi. Padahal, apa yang dilakukannya itu belum tentu benar.
Seorang dokter gigi bagaimana pun berupaya untuk mempertahankan gigi pasiennya. Mengapa? Apabila gigi dicabut dan tidak diganti, lama-kelamaan gigi lawannya akan memajang, gigi tetangganya akan miring ke arah bekas gigi yang dicabut. Makanan akan terselip di antara gigi, membusuk, lalu timbul lubang baru. Bila pemiliknya tetap tidak peduli, akan terjadi pencabutan berantai.
Kehilangan gigi juga akan mengganggu keseimbangan pengunyahan, misalnya terpaksa mengunyah pada satu sisi - yang akan berdampak pada kerusakan sendi rahang. Bila dibiarkan, lama-kelamaan dapat terjadi "bengong" terpaksa, yaitu rahang tidak bisa ditutup setelah membuka lebar karena menguap, misalnya.
Karena itulah, dokter akan mencari terlebih dahulu akar persoalan timbulnya rasa sakit di gigi. Pada kasus pasien di atas, setelah diperiksa ternyata saraf gigi geraham pasien telah mati, dengan nanah di dalam tulang rahangnya.
Si dokter pun menawarkan, "Oke, begini saja. Sekarang saya coba untuk mengatasi rasa sakitnya dulu, kemudian kalau memang ingin dicabut juga, silakan ke dokter gigi lain." Setelah absesnya dikeluarkan, ternyata secara ajaib sakitnya seketika langsung hilang. Niat mencabut pun urung.
Abses pada tulang rahang di ujung akar gigi yang mati memang dapat menimbulkan rasa sakit hebat. Rasa sakit timbul akibat tekanan abses yang tinggi mempengaruhi saraf. Dalam keadaan seperti ini pemberian antibiotik saja tidak akan menolong selama abses masih ada. Terkadang pada kasus seperti ini, bila tidak disertai demam, pemberian antibiotik tidak diperlukan.
Kasus absesnya dapat keluar secara spontan, misalnya melalui lubang gigi atau tembus ke gigi melalui semacam bisul yang disebut fistel, absesnya menjadi kronis. Ini biasanya tidak sakit. Fistel ini kadang hilang-timbul, sesuai dengan daya tahan tubuh penderita, yang berarti penyakitnya masih ada. Bahkan mungkin kumannya dapat menginfeksi organ lain melalui aliran darah.
Gigi yang mengalami abses masih dapat dipertahankan dengan perawatan saluran akar (perawatan endodentik). Di tangan ahli, perawatan saluran akar bisa diselesaikan dalam dua atau tiga kali kunjungan. Bahkan pada kasus tertentu dapat sekali saja dan tidak menyakitkan seperti anggapan orang.
Pemberian obat gigi juga tidak perlu berganti-ganti karena dengan satu macam obat saja sudah dapat memberikan hasil yang baik. Prinsip perawatannya adalah menghilangkan sumber infeksi, membentuk dan mensterilkan saluran akar, kemudian diisi rapat dengan bahan khusus supaya tidak ada ruang kosong dan mencegah kuman masuk ke dalam tulang rahang.
(Sumber: Intisari)