Mengonsumsi Herbal Secara Cerdas

K. Tatik Wardayati

Editor

Mengonsumsi Herbal Secara Cerdas
Mengonsumsi Herbal Secara Cerdas

Minat orang mengonsumsi tanaman obat (TO) atau herbal akhir-akhir ini besar sekali. Salah satunya karena dorongan untuk mendapat pertolongan dalam menyembuhkan penyakit yang gagal diatasi oleh kedokteran modern. Atau, karena bosan minum obat modern dan khawatir akan efek sampingannya. Umumnya, masyarakat menganggap tanaman obat lebih alami sehingga dinilai lebih aman bila digunakan dalam jangka panjang.

Anggapan itu membuat banyak di antara mereka main hantam saja dalam mengonsumsi herbal. Namun, mereka tidak menyadari bahwa belum semua herbal terbukti khasiatnya secara ilmiah. Sudah begitu, pengetahuan tentang khasiatnya itu lebih banyak diperoleh dari pengalaman empiris. Kalaupun sudah banyak dilakukan penelitian terhadap TO, hasilnya tidak selalu positif.

Kunyit dan jahe yang terbukti manjur untuk mengobati rematik, misalnya, ternyata tidak boleh digunakan oleh wanita hamil. Sebab, pada dosis tertentu terbukti menimbulkan cacat bawaan pada penelitian hewan. Begitu pula temulawak yang terbukti efektif untuk mengatasi keluhan hati dan merangsang nafsu makan. Temulawak tidak boleh diberikan pada penderita batu empedu karena justru akan menimbulkan nyeri kolik.

Seharusnya, untuk dapat digunakan sebagai pengganti obat modern, tanaman obat memenuhi syarat yang berlaku untuk obat modern, yaitu bukti objektif tentang keamanannya. Artinya, ada data tentang toksisitas (daya peracunan)-nya pada hewan, maupun manusia. Pembuktian objektif (ilmiah) pada manusia ini disebut uji klinik.

Berangkat dari kenyataan itu, di Indonesia TO dibedakan atas tiga kelompok: fitofarmaka, tanaman obat (herbal) terstandar, dan jamu. Fitofarmaka itu kelompok yang telah terbukti khasiatnya setelah melalui uji klinik. Herbal terstandar adalah tanaman obat yang diproduksi dengan formulasi standar dan telah dibuktikan aman melalui uji toksisitas pada hewan, tetapi belum melewati uji klinik untuk membuktikan khasiatnya. Beberapa produk berbahan mengkudu, jambu biji, jahe merah, atau daun dewa, misalnya, saat ini sedang didorong oleh pemerintah untuk membuktikan diri sehingga dapat digolongkan sebagai fitofarmaka.

Kelompok ketiga yaitu jamu yang biasanya berisi campuran TO yang sudah biasa digunakan secara turun-temurun untuk mengatasi gejala penyakit, bukan untuk mengobatinya. Bukti khasiat melalui uji klinik belum semuanya ada dan uji toksisitas pun ada yang belum dilakukan.

Herbal yang telah diproduksi secara industri selalu ada tanda khusus pada kemasannya. Fitofarmaka diberi tanda logo TO ditambah tulisan "Fitofarmaka". Sementara pada herbal terstandar logo itu disertai tulisan "Herbal terstandar", kemudian jamu disertai tulisan "Jamu". Pengenalan ketia kelompok TO itu dianggap perlu karena di Indonesia buku yang berisi informasi lengkap tentang TO jarang ditemui. Sebaliknya, di mancanegara informasi mengenai TO tersedia luas dan lengkap.

Nah, supaya tidak tersesat dalam penggunaan TO, rambu-rambu di bawah ini perlu diperhatikan:

  • Pastikan bahwa gejala yang akan diobati bukanlah gejala penyakit serius.
  • Penggunaan TO untuk penyakit kronis dan yang komplikasinya berat serta hipertensi dan diabetes sebaiknya dibarengi dengan pemeriksaan teratur oleh dokter, sehingga manakala diperlukan, dokter dapat memberikan obat yang telah terbukti efektif.
  • Jangan mengandalkan TO untuk penyakit yang memang membutuhkan tindakan bedah. Kanker payudara, misalnya.
  • Jangan minum jamu ketika hamil, kecuali bila jamu itu memang secara empiris ditujukan untuk wanita hamil.
  • Bila keluhan yang dapat diatasi dengan TO terus berulang, sebaiknya periksakan diri ke dokter, agar bila ada penyakit serius, tidak terlambat didiagnosis.