Intisari-Online.com – Kalau saat ini Jokowi yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan berani “melokalisasikan” PKL Tanah Abang, bisa jadi beliau bercermin pada Ali Sadikin, pendahulunya. Majalah Intisari edisi Juni 1968 pernah menurunkan tulisan J. Adisubrata tentang Ali Sadikin, sang Gubernur DKI Jakarta. Tulisan tersebut berkisar pada pembangunan Ibukota dan masalah-masalahnya.
Mari kita nikmati tulisan tersebut.
Salah satu hal yang mengesan pada rakyat ibukota, ialah betapa cepat dan efektifnya kegiatan-kegiatan pembangunan-pembangunan seperti misalnya, pembuatan halte-halte bus beberapa waktu yang lalu, jembatan-jembatan penyeberangan jalan di Jln. Thamrin dan Jenderal Sudirman, dan kini pelebaran jalan-jalan Gajahmada/Hayamwuruk, peningkatan mutu Jalan Gunung Sahari, dan sebagainya.
Kegiatan-kegiatan ini tentunya hanya mungkin karena adanya tata-cara kerja yang baik, jaminan yang cukup merangsang para pegawai dan sistem kontrol yang cermat.
Pernah seorang rekan wartawan foto dalam bulan Januari tahun ini memergoki Pak Sadikin berdiri di pinggir jalan sedang menumpahkan marahnya pada supir truk yang nabrak trotoar. Itulah Pak Gub yang sangat mementingkan pekerjaan kontrol dan pengumpulan data-data konkret tentang keadaan hidup sehari-hari di ibukota.
Kira-kira tiga kali seminggu ia "ngeluyur," biasanya sore hari, hanya dikawal oleh ajudannya. Dalam kegiatan demikian, biasanya mobilnya diparkir beberapa jarak dari tempat tujuan. Lalu turun dan mulailah ia melihat-lihat. Lingkungan-lingkungan yang perlu diselidiki, dijelajahnya.
Kadang-kadang orang mengenalnya, tetapi kerapkali juga tidak. Dalam keadaan terakhir, terjadilah misalnya teguran ''Mampir maas" di Kramat Tunggak. Juga di lingkungan wanita tunasusila ini Sadikin tidak segan melihat keadaan dari dekat, dengan dikawal Hansip setempat jika tugas menuntutnya menyelidiki ruangan rumah-rumah di situ.
Mengenai efisiensi aparatur pemerintahan, Pak Sadikin yang membandingkan kehidupan di ibukota seperti PT mengatakan bahwa masalahnya terutama adalah pembinaan organisasi, penugasan dengan tanggung jawab yang tegas dan tunggal.
"Jika pekerjaan tidak baik, saya tidak mau menerima dalih-dalih. Lebih baik akui dulu kesalahan-kesalahan untuk kemudian menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya,” katanya.
Pengerahan tenaga pegawai tentu tak mungkin tanpa memberikan perhatian penuh pada nasib dan tugas-tugas mereka. Maka Sadikin sangat memperhatikan agar gaji diberikan tepat pada waktunya. Masalah angkutan para pegawai, pakaian dinas dan lain-lain jaminan kesejahteraan tak luput dari pengamatanya.
Selanjutnya ia sangat memperhatikan "ranklist", daftar urutan dalam hal menunjuk dan memberikan promosi kepada para pegawai. Kriterium-kriterium objektif, tentang ijazah, masa kerja, bakat dan sebagainya harus dipegang teguh.
Dengan perlakuan demikian terhadap para pembantunya, Pak Sadikin berusaha menciptakan suasana kerja yang penuh gairah, kompetisi yang sehat dan jiwa serta kebanggaan korps pegawai.
(Bersambung)