Intisari-Online.com -Banjir di DKI ibarat pencuri, datang sewaktu-waktu tanpa permisi. Hujan ataupun tidak sama saja, sebagian warga ibukota mesti selalu waspada. Kenapa begitu? Banyak penyebabnya. WartawanIntisari, Al. Heru Kustara dan A. Hery Suyono mencoba membeberkan persoalannya.--
Bukannya pihak berwenang berpangku tangan diam-diam saja melihat banjir Jakarta. Cuma celakanya, laju kebutuhan akan lahan untuk mendirikan gedung atau bangunan sepertinya tidak bisa direm, dan ini tidak mampu dikejar oleh gerak lambannya pembangunan atau penyediaan prasarana drainase dan pengendalian banjir serta genangan.
"Pembangunan prasarana drainase itu mestinya dilakukan secara simultan dengan pembangunan fisik yang terjadi, dan ini tidak mungkin karena pembangunan perkantoran atau permukiman itu sering kali menyebar, tidak mengelompok dalam satu sistem drainase atau daerah aliran sungai tertentu," tutur Ir. H. Soeroso Issoewandhono, Kasubdin DPU DKI Jakarta.
Celakanya lagi, pembangunan fisik terutama untuk kawasan perumahan oleh perusahaanrealestate misalnya, banyak mengambil lokasi yang tadinya merupakan rawa-rawa. Padahal, daerah rawa-rawa yang diuruk untuk kawasan permukiman oleh para developer itu sebenarnya secara alamiah berfungsi sebagai parkir air.
Lha, kalau karya-karya alam itu diuruk untuk keperluan macam pembangunan perumahan, mudah ditebak apa yang terjadi. Sistem aliran menjadi terganggu. Kawasan bekas rawa atau situ yang diuruk itu sendiri memang lalu bebas banjir dan genangan karena menjadi lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Tetapi persoalan berpindah menimpa masyarakat di luar permukiman itu.
Sekadar contoh, antara lain kini terjadi di sekita kompleks permukiman elite di Kelapa Gading Permai, Jakarta Timur, yang tadinya merupakan daerah rawa. Penduduk sekitar kompleks Kelapa Gading Permai yang sebelumnya tidak pernah mengalami banjir, kini dikhawatirkan akan tergenang, karena lokasinya yang lebih rendah dari permukiman tersebut.
Hal semacam itulah yang sempat mencuat dalam kasus Pantai Indak Kapuk, misalnya. Pengurukan rawa untuk permukiman elite di kawasan itu dikhawatirkan akan membuat jalan tol Prof. Sedyatmo dan Bandara Soekarno – Hatta di Cengkareng tergenang air.
Namun ada juga daerah-daerah di DKI Jakarta yang lokasinya memang lebih rendah dari permukaan air sungai, sehingga setiap tahun secara rutin terancam banjir. Misalnya, kompleks IKPN (Induk Koperasi Pegawai Negeri) Bintaro, daerah Cirendeu, dan Pulo Raya di Jakarta Selatan, atau daerah Kapuk Muara di Jakarta Barat.
Jadi, apa boleh buat masyarakat yang bermukim di wilayah ini mesti menyadari bahwa mereka memang tinggal di daerah yang lebih rendah dari permukaan air sungai. Sewaktu-waktu air sungai meluap, ya harus siap mengadapinya dan jangan menggerutu.
Apalagi kalau diingat ada Undang-undang Pengairan No. 22 tahun 1982 mengenai Tata Pengaturan Air yang pada pasal 18 isinya kira-kira: orang yang menguasai sebidang tahan yang biasanya dilalui aliran air secara alamiah wajib membiarkan aliran air itu lewat halaman rumahnya.
"Nah, kalau tidak mau dilewati dan ingin memindahkan aliran itu harus dengan perencanaan teknis dan dikoordinasikan dengan pihak berwenang, dalam hal ini Suku Dinas PU yang bersangkutan, agar tidak merugikan pihak lain," tutur Soeroso Issoewandhono.
(Bersambung)