Lorong Masa: Sejak Lahir Jakarta Bergelut dengan Banjir (3)

Birgitta Ajeng

Editor

Lorong Masa: Sejak Lahir Jakarta Bergelut dengan Banjir (3)
Lorong Masa: Sejak Lahir Jakarta Bergelut dengan Banjir (3)

Intisari-Online.com -Banjir di DKI ibarat pencuri, datang sewaktu-waktu tanpa permisi. Hujan ataupun tidak sama saja, sebagian warga ibukota mesti selalu waspada. Kenapa begitu? Banyak penyebabnya. WartawanIntisari, Al. Heru Kustara dan A. Hery Suyono mencoba membeberkan persoalannya.--

Kapasitas saluran pengendali banjir di DKI Jakarta sungguh semakin lama justru semakin kurang memadai. Jumlah lokasi rawan genangan bukannya semakin berkurang. Malah sebaliknya, ambil contoh saja, menurut data PWCSS pada musim hujan tahun 1991/1992 lalu, tercatat 61 lokasi rawan genangan. Tetapi pada tahun 1992/1993 diperkirakan justru bertambah menjadi 83 lokasi. Jumlah terbanyak di Jakarta Selatan (24 lokasi), menyusul Jakarta Utara (23), Jakarta Barat (14), Jakarta Timur (13), dan di Jakarta Pusat hanya 9 lokasi.Wilayah rawan genangan tersebut meliputi daerah cekungan yang memang lokasinya lebih rendah daripada permukaan air saluran. Sementara saluran yang ada dalam kondisi kurang terawat. Selain airnya tidak mengalir karena penuh lumpur dan sampah, letak saluran tersebut rata-rata sama tinggi dengan saluran utama (makro).Itu lokasi genangan secara administratif. Kalau menurut sistem pembagian wilayah aliran (DKI Jakarta dibagi dalam 3 wilayah yang mencakup juga bagian hulunya), lokasi genangan yang terbanyak terdapat di wilayah aliran timur sebanyak 34 lokasi, wilayah aliran tengah 27 lokasi dan wilayah aliran barat 22 lokasi.Besarnya jumlah daerah genangan di wilayah timur yang dialiri K. Cipinang, K. Sunter, K. Buaran dan K. Cakung, selain sebagian daerahnya relatif rendah, juga masih terbatasnya sarana pengendalian bajir yang tersedia. Banjir dan genangan di wilayah ini baru diatasi oleh Saluran Drainase Cakung (Cakung Drain).Kalau melihat kondisi ibu kota sekarang ini, ancaman bahaya banjir di DKI Jakarta sepertinya tak akan pernah terselesaikan. Di Jakarta sendiri istilah banjir bukan berupa luapan atau genangan, yang terjadi karena hujan lokal Jakarta, hujan di bagian hulu sungai (atau bajiir "kiriman", begitu orang bilang) atau akibat pasang air laut.Genangan bisa terjadi karena air antre (terkumpul) di suatu tempat sebelum masuk saluran, sedangkan luapan menunjukkan bahwa air yang datang melebihi kapasitas sungai atau saluran pengendali banjir yang ada. Karena Jakarta topografinya relatif landai, akibatnya air tidak cepat surut. Apalagi banyak saluran air yang tidak berfungsi normal karena bersumbat sampah.Sementara dari pengalaman selama ini, Jakarta mengalami banjir parah apabila datangnya "banjir kiriman" dari Bogor, yang merupakan hulu K. Ciliwung, bersamaan dengan pasangnya air laut. Dalam kondisi demikian, arus sungai sulit menuju laut, dan hal ini bisa mengakibatkan genangan di beberapa tempat yang sebelumnya diperkirakan tidak banjir.Lantas, bagaimana mengatasinya? Menurut Rencana Induk Tata Pengaturan Air DKI Jakarta yang masih berlaku meskipun dibuat hampir 20 tahun lalu, ada 3 prinsip pengendalian banjir, yakni dibuatnya banjir kanal, saluran dranase,dan sistem pompa (sistem polder). Banjir kanal terutama untuk menanggulangi banjir 'kiriman" karena terjadi hujan di daerah hulu.Untuk mengatasi persoalan banjir dan genangan di wilayah aliran timur akan dibuat Banjir Kanal Timur dengan segala perlengkapannya, yang memotong malang K. Cipinang, K. Sunter, K. Buaran dan K. Cakung yang kemudian dialirkan ke laut lewat kawasan Bekasi Barat. Rencana pembangunannya dilaksanakan dalam empat tahap. Tahap pertama yang kini sedang digarap adalah normalisasi K. Cipinang dan K. Sunter yang diperlebar dan diperdalam.Sementara itu, untuk mengendalikan banjir wilayah aliran tengah dan barat semula direncanakan Banjir Kanal diperluas. Sebab, Banjir Kanal yang sudah ada ini yang selesai dibangun tahun 1920 di zaman pemerintahan Belanda oleh Ir. H. Van Breen dinilai kurang memadai lagi. Padahal sebelumnya ini termasuk proyek pemecahan tata air yang paling menyeluruh dan berhasil mengatasi banjir, paling tidak waktu itu di kawasan Jakarta Kota.Saluran pengelak banjir yang juga dikenal dengan Kali Malang ini membelokkan aliran K. Ciliwung di kawasan Manggarai, dilengkapi dengan dua buah pintu air, lewat saluran baru menyusuri pinggiran kota (pada waktu itu) di bagian selatan dan barat sebelum akhirnya bermuara di Muara Karang. Nah, ketika banjir kiriman datang dari Bogor, pintu air yang menuju K. Ciliwung lama ditutup, sedangkan pintu air yang menuju Banjir Kanal dibuka. Sekali-kali pintu air ke K. Ciliwung lama dibuka untuk penggelontoran.Rencana perluasan Banjir Kanal Barat itu urung, "Karena mengalami kesulitan, yakni padatnya permukiman yang akan dilalui rencana Banjir Kanal Barat. Pembebasan tanah dan juga pembuatan konstruksi saluran perlu dana besar sekali sampai puluhan miliar, dana dari mana?" kata Soewardi.Makanya dipilihlah tiga alternatif pemecahan untuk menggantikan rencana itu. Yaitu, membuat saluran Cengkareng (Cengkareng Drain), membangun sudetan K. Grogol dan K. Sekretaris sepanjang 2 km, kemudian dimasukkan ke K. Angke, dan membuat sistem pompa Cideng di Jl. Siantar.Saluran Cengkareng yang panjangnya 7,5 km, lebar sekitar 60 m dan kedalaman 5,5 m dimulai dari K. Pesanggrahan, membelah daerah Cengkareng dan memotong K. Angke dan K. Mookervart untuk selanjutnya mengalir ke laut.Sementara saluran drainase dibuat untuk mencegah banjir (genangan air) yang diakibatkan hujan lokal yang turun deras dan merata di Jakarta. Dengan adanya saluran drainase, air hujan dengan sendirinya akan mengalir dengan cara gravitasi atau sesuaigayaberat air. Masih perlunya normalisasi saluran makro, dan juga saluran-saluran penghubung yang ada. Itu untuk lokasi yang lebih tinggi.(Bersambung)